BeritaPerbankan – Jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang tahun 2024 terus bertambah menjadi 15 bank. Terbaru, BPR Nature Primadana Capital di Kabupaten Bogor yang resmi ditutup pada 13 September 2024.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa penutupan sejumlah BPR di tahun 2024 tidak terkait dengan kondisi ekonomi nasional, melainkan adanya indikasi penipuan atau fraud yang dilakukan oleh oknum pengurus bank tersebut.
“Sebagian besar penutupan BPR terjadi akibat adanya fraud di dalam manajemen, bukan karena situasi ekonomi,” kata Purbaya pada konferensi pers di Jakarta, 1 Agustus 2024.
Menurutnya, kondisi ini mendorong LPS untuk memperkuat pengawasan dan manajemen risiko di sektor BPR. Salah satu upaya yang sedang ditempuh adalah pengembangan sistem teknologi informasi yang lebih baik guna mendukung operasional dan pengawasan lembaga keuangan tersebut.
Purbaya menambahkan bahwa dana nasabah bank yang ditutup akan dibayarkan melalui program penjaminan simpanan, dengan nilai penjaminan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank. LPS akan melakukan proses rekonsiliasi dan verifikasi terhadap data simpanan nasabah untuk menetapkan daftar simpanan layak bayar. Proses ini diselesaikan paling lambat 90 hari kerja terhitung sejak bank dicabut izin usahanya.
Purbaya mengatakan bahwa dalam proses pembayaran klaim simpanan nasabah, LPS terus berinovasi mempercepat proses rekonsiliasi dan verifikasi untuk memberikan kepastian kepada nasabah yang terdampak penutupan bank tersebut. Saat ini, LPS dapat menyelesaikan pembayaran kepada nasabah hingga 80% dari simpanan mereka dalam waktu kurang dari lima hari.
Untuk menangani dampak dari penutupan BPR yang terus meningkat, LPS telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun pada tahun ini. Anggaran tersebut digunakan untuk membantu pemulihan dan penjaminan simpanan nasabah BPR yang tutup.
Tantangan BPR dan BPRS di Tengah Perubahan Ekonomi dan Teknologi
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahwa tantangan industri BPR dan BPR Syariah (BPRS) akan semakin berat pada tahun 2025. Perubahan ekonomi global dan domestik, serta adopsi teknologi yang semakin masif, menjadi dua faktor utama yang memengaruhi arah perkembangan sektor perbankan, termasuk BPR dan BPRS.
Menurut Dian, perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat terhadap layanan keuangan telah memaksa bank-bank kecil seperti BPR untuk beradaptasi. Di sisi lain, persaingan antar bank juga semakin ketat, terutama dalam penyaluran kredit kepada segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selama ini menjadi target utama BPR.
“Dalam menghadapi tantangan ini, BPR dan BPRS harus memiliki ketahanan dan daya saing yang kuat agar dapat bertahan di tengah persaingan dan perubahan yang terus terjadi,” ujar Dian.
Sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi industri BPR dan BPRS, OJK telah menerbitkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS (RP2B) pada Mei 2024. Dokumen ini menjadi panduan utama untuk membangun daya saing serta ketahanan BPR dan BPRS selama periode 2024 hingga 2027. RP2B terdiri dari empat pilar utama: penguatan struktur dan daya saing, akselerasi digitalisasi, penguatan peran BPR dan BPRS di wilayahnya, serta penguatan regulasi, perizinan, dan pengawasan.
“Diharapkan melalui penerapan inisiatif-inisiatif ini, industri BPR dan BPRS dapat menjadi lebih tangguh, kompetitif, dan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian daerah,” tambah Dian.
Digitalisasi menjadi salah satu poin krusial dalam roadmap ini, mengingat banyak BPR yang hingga kini belum memiliki sistem teknologi informasi yang memadai. Pengembangan teknologi tidak hanya diperlukan untuk memperbaiki layanan, tetapi juga untuk meningkatkan pengawasan serta mitigasi risiko operasional, termasuk deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya fraud.