BeritaPerbankan – Kebijakan pemerintah dalam melarang pembangunan PLTU baru serta pensiun dini PLTU ditujukan dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi “Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.
Sementara pada ayat 4 disebutkan bahwa pengembangan PLTU baru dilarang, kecuali salah satunya bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.
Industri batu bara dan juga PLTU akan terkena dampak signifikan dari kebijakan ini yang tak lain berujung pada upaya mencapai target netral karbon di 2060 atau lebih cepat. Begitu juga dengan dunia yang juga mengurangi penggunaan batu baranya.
Perlu diketahui, batu bara merupakan komoditas andalan RI saat ini. Bahkan, pada 2020 Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tak ayal bila industri ini menyerap banyak tenaga kerja. Industri batu bara telah menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 150 ribu pada 2019 lalu. Hal tersebut tertuang dalam data Booklet Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020.
Jumlah tenaga kerja tersebut bahkan belum termasuk penyerapan tenaga kerja di bidang operasional PLTU. Bila dimasukkan dengan tenaga kerja di PLTU, maka artinya jumlah tenaga kerja yang harus kehilangan pekerjaan menjadi lebih besar lagi.
Apabila pemerintah sepenuhnya menghentikan penggunaan PLTU maupun produksi batu bara, setidaknya pemerintah harus siap-siap membuka lapangan kerja baru untuk ratusan ribu tenaga kerja RI yang saat ini bekerja di industri pertambangan batu bara.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021), mengatakan bahwa pemerintah berencana mengurangi 5,52 GW PLTU sampai 2030, terdiri dari pengurangan PLTU Jawa – Bali sebesar 3,95 GW dan Sumatera sebesar 1,57 GW.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menuturkan bahwa konsumsi batu bara nasional diperkirakan akan berkurang 175-190 juta ton per tahun atau setara dengan pengurangan pendapatan sebesar Rp 25 triliun per tahun bila PLTU dihentikan sama sekali. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah dinilai harus memacu hilirisasi batu bara untuk menggantikan hilangnya pasar.
Sebagai pengganti kehilangan pendapatan dari sektor batu bara ini, maka menurutnya pemerintah harus mencari alternatif pengganti sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari industri lainnya untuk mendukung pembangunan nasional.