BeritaPerbankan – Generasi milenial pasti pernah mendengar atau bahkan bertanya pada diri sendiri, kenapa generasi orangtua dan kakek-nenek kita bisa punya tanah yang luas, rumah besar?.
Ada juga yang heran, orangtuanya bukanlah seorang yang mengenyam pendidikan tinggi, pekerjaannya juga biasa saja tidak ada yang terlalu istimewa tapi mampu sudah bisa punya rumah dan tanah di usia muda di awal pernikahan.
Keheranan kaum milenial memang beralasan. Sebab generasi milenial merasakan sulitnya memiliki sebuah hunian meski sudah bertahun-tahun bekerja di kota.
Orangtua zaman dulu, generasi kakek-nenek dan orangtua dikenal memiliki aset berupa tanah, sawah dan rumah. Meskipun sekarang mungkin sebagian besar aset tanah sudah berubah menjadi rumah kontrakan, ruko untuk disewakan atau dijual.
Kelompok generasi Y yang lahir pada tahun 1981 hingga 1996 sekarang sudah memasuki masa-masa menjadi orang dewasa dengan segudang tantangan dan problematikanya.
Salah satunya soal keuangan. Melihat generasi baby boomers dan generasi X yang terbilang sukses bikin kagum dan iri karena mampu memiliki aset sejak muda hingga tak sengsara di masa tua, bahkan sampai bisa berbagi harta warisan.
Lantas bagaimana cara orangtua kita (generasi X dan baby boomers) dalam mengelola keuangan hingga mampu memiliki aset tanah dan properti?.
Mengenal Karakter Generasi Baby Boomers dan Generasi X
Generasi baby boomers disematkan kepada kelompok orang yang lahir pada tahun 1946 hingga 1964. Karakteristik generasi boomers sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik pasca perang dunia I dan II.
Maka dari itu generasi boomers dikenal sebagai generasi tangguh yang mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan situasi.
Secara umum mereka dikenal sebagai pribadi yang tangguh, mandiri, kompetitif, memiliki etika kerja yang tinggi dan fokus pada tujuan yang ingin dicapai.
Generasi X adalah kelompok orang yang lahir pada tahun 1965 hingga 1980. Gen X tumbuh di era industrialisasi sedang gencar dilakukan di seluruh dunia.
Gen X disebut sebagai generasi yang mandiri dan mudah beradaptasi di lingkungan kerjanya. Kemandirian gen X disebabkan oleh kondisi saat mereka kecil yang harus ditinggalkan orangtuanya bekerja dan dititipkan kepada saudara atau tetangga.
Perkembangan era industri membawa perubahan besar di dalam tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Orangtua dari anak-anak gen X termasuk para ibu lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Sehingga gen X secara umum memiliki karakter lebih skeptis dan pesimis dalam menghadapi tantangan.
Akan tetapi gen X punya sikap toleran yang tinggi karena sejak kecil sudah terbiasa berada di lingkungan di luar rumahnya.
Gen X cukup menguasai teknologi informasi sehingga mereka dapat berpikir lebih inovatif dibandingkan generasi sebelumnya.
Cara Generasi Boomers dan Gen X Mengelola Keuangan
Kedua generasi ini sama-sama memiliki kegemaran membelanjakan uang tabungan mereka untuk membeli sebidang tanah, sepetak sawah atau rumah.
Orangtua dan kakek nenek kita mungkin tidak memiliki tabungan pensiun, tapi sejak muda mereka sudah mempersiapkan kebutuhan masa tua dengan aset berupa tanah dan rumah.
Generasi ini juga hobi mengoleksi perhiasan emas sebagai instrumen investasi. Mereka meyakini bahwa emas adalah salah satu cara berinvestasi yang mudah karena bisa dijual kapanpun saat ada kebutuhan mendesak.
Pada saat itu memang peran industri perbankan belum semasif sekarang. Para tetua kita belum mengenal beragam instrumen investasi seperti tabungan berjangka, deposito, giro, investasi saham apalagi kripto.
Meski demikian mereka paham betul bahwa berinvestasi itu penting untuk masa depan. Generasi X dan Boomers lahir dan tumbuh di masa-masa yang terbilang sulit pasca peperangan dan kemerdekaan.
Karakter mandiri, tangguh dan visioner ini menjadi bagian dalam karakter diri mereka. Dalam membelanjakan uang pun karakter gen X dan boomers yang visioner fokus ke masa depan untuk mengantisipasi jika situasi darurat terjadi.
Gaya Hidupmu Menentukan Masa Depanmu
Kalimat di atas masih berlaku hingga sekarang. Itu juga yang diterapkan oleh generasi orang tua kita. Kamu pasti sering mendengar para orangtua yang suka menasihati anaknya untuk ‘hidup jangan kebanyakan gaya’.
Hidup kebanyakan gaya kalau tidak diimbangi kemampuan finansial yang mapan bisa bikin keuangan seseorang berantakan.
Generasi milenial sering disebut generasi yang boros alias konsumtif sehingga sulit untuk membeli rumah dan tanah seperti gen X dan boomers.
Kecanggihan teknologi mempengaruhi perilaku ekonomi generasi milenial. Media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan generasi milenial.
Media sosial seringkali menuntut seseorang untuk tampil istimewa, kekinian, mengikuti tren agar diakui di lingkungan sosialnya.
Untuk eksis di media sosial tentu saja butuh modal. Maka tidak heran jika kaum milenial yang sudah memiliki penghasilan banyak mengalokasikan pendapatan mereka untuk konsumsi, kepemilikan perangkat teknologi terbaru dan pengalaman (experience) seperti liburan, nonton konser, makan di tempat unik yang instagramable.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid mengatakan hambatan utama kaum milenial sulit membeli sebuah hunian adalah tingkat pengeluaran konsumsi yang tinggi sementara kenaikan upah kaum milenial terbilang rendah.
Berdasarkan survey yang dilakukan di 17 kota, generasi milenial yang sudah berkeluarga rata-rata menghabiskan 50 % penghasilannya untuk konsumsi.
Khalawi mengatakan generasi milenial cenderung konsumtif. Kesadaran untuk berinvestasi dan mulai mencicil rumah masih belum menjadi prioritas utama kaum milenial.
Pandangan berbeda disampaikan Financial Planner Prita Gozhie yang mengatakan bahwa penyebab sulitnya milenial memiliki hunian dan aset properti karena harga rumah yang tinggi tidak sebanding dengan penghasilan generasi milenial.
Prita menambahkan andaikan harga rumah bisa lebih murah dan gaji kaum milenial tinggi pasti rumah menjadi prioritas utama milenial.
Susahnya membeli hunian akhirnya membuat kaum milenial mencari pelarian dengan menggunakan sebagian uang mereka untuk sesuatu yang bisa memberikan pengalaman, yang seringkali dianggap sebagai pemborosan atau konsumtif.
Direktur Utama Eazy Property Rico Tampewas menambahkan bahwa ketidakterjangkauan harga rumah adalah alasan utama kaum milenial tidak membeli rumah.
Bicara tentang literasi keuangan generasi milenial sudah lebih banyak tahu dan diberikan beragam pilihan. Generasi milenial memiliki banyak informasi dan akses investasi yang lebih luas.
Kaum milenial tidak dipungkiri sangat dekat dengan media sosial. Stereotipe generasi milenial haus akan pengakuan dan selalu ingin eksis di media sosial membuat generasi ini memiliki prioritas tersendiri dalam membelanjakan uang mereka.
Jika generasi baby boomer lebih senang membelanjakan uang untuk membeli rumah, tanah dan sawah, lain halnya dengan kaum milenial yang menganggap bahwa ‘membeli pengalaman’ adalah hal yang penting.
Pilihan generasi boomers dan gen X membeli rumah atau tanah turut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang belum semasif seperti sekarang.
Generasi orangtua kita tidak disuguhkan banyak pilihan untuk membelanjakan uang. Lingkungan dan situasi dimana seseorang tumbuh juga turut mempengaruhi karakter, termasuk dalam pengambilan keputusan soal pengelolaan keuangan.
Generasi X dan boomers yang tumbuh di masa-masa sulit sehingga ketika situasi ekonomi membaik mereka lebih suka mengambil inisiatif antisipatif agar keturunannya tidak mengalami kesulitan ekonomi.
Generasi boomers dan gen X mengelola keuangan untuk masa depan anak cucu mereka agar kelak mendapat pendidikan yang tinggi, punya status sosial tinggi di masyarakat dan pekerjaan yang mapan. Semua hal itu mungkin tidak mereka dapatkan saat mereka muda karena situasi yang berbeda.
Dari generasi ibu bapak dan kakek nenek kita belajar bahwa investasi masa depan harus dipersiapkan sejak kita masih muda.
Mereka menahan diri dengan hidup sederhana supaya keturunan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kepemilikan aset mereka persiapkan agar di masa tua mereka bisa hidup tanpa merepotkan siapapun bahkan di penghujung usia mereka bisa memberikan warisan atau hadiah untuk anak cucu mereka.