BeritaPerbankan – Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan kenaikan inflasi harus diwaspadai di paruh kedua tahun ini. Pasalnya, ia mulai mencium tanda bahwa inflasi mengarah ke stagflasi.
Hal itu terlihat dari kenaikan inflasi tahunan yang tinggi pada Juni. Kenaikan itu abnormal atau tidak wajar. Sebab, secara musiman pasca Lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan.
“Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja juga,” tambahnya. Ia menuturkan masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi. Jumlah yang ia sebut ini selaras dengan data dari BPS yang mencatat jumlah penduduk usia kerja yang terdampak pandemi covid-19 berkurang 7,57 juta orang dalam setahun terakhir, sehingga totalnya menjadi 11,53 juta orang pada Februari 2022.
Bhima mengatakan dengan kondisi seperti ini tekanan inflasi beberapa bulan ke depan bisa berlanjut. Ia memprediksi inflasi hingga akhir tahun dapat mencapai 4,5 persen hingga 5 persen (yoy).
Ia menyebut risiko terbesar adalah imported inflation, yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang di dalam negeri meningkat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ‘memaksa’ masyarakat membeli BBM jenis Pertamax dengan menerapkan kebijakan beli BBM subsidi jenis pertalite dan solar dengan aplikasi MyPertamina juga dapat memicu kenaikan inflasi.
Tidak hanya itu, pemberlakuan MyPertamina sebagai kewajiban beli Pertalite juga bisa meningkatkan jumlah orang miskin baru. Ia juga khawatir hal tersebut membuahkan pelemahan konsumsi rumah tangga yang signifikan.
Pelemahan sebenarnya sudah tercium dari peralihan atau migrasi yang dilakukan masyarakat dari pertamax ke pertalite saat pemerintah menaikkan harganya beberapa waktu lalu. “Bayangkan orang miskin harus punya gadget, beli pulsa dulu untuk dapatkan haknya. Sementara hanya 14 persen desil terbawah atau rumah tangga miskin yang gunakan internet,” imbuh Bhima.
Terkait pernyataan Kemenkeu yang menyebut inflasi Juni ini masih moderat, Bhima mengatakan itu karena produsen masih tahan harga. “Dan administered prices atau harga energi subsidi masih dijaga pemerintah. Sampai kuartal I 2022 inflasi harga produsen sebenarnya sudah 9 persen yoy,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia meminta pemerintah untuk menahan dulu pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kg, dan tarif listrik. Apalagi, APBN masih surplus Rp132 triliun per Mei 2022.
Ia berpendapat pemerintah bisa menahan subsidi dengan beberapa opsi :
- Alihkan windfall penerimaan dari komoditas ke subsidi energi
- Alihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang belum terserap untuk tambah kompensasi BBM dan listrik
- Tunda proyek infrastruktur yang belum prioritas.