BeritaPerbankan – Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan adanya peningkatan angka ketimpangan masyarakat Indonesia. Diukur dengan menggunakan rasio gini per Maret 2022 tingkat ketimpangan masyarakat naik sebesar 0,003 poin menjadi 0,384 dibandingkan data pada September 2021 sebesar 0,381.
Sementara itu skor literasi keuangan atau Financial Knowledge masyarakat Indonesia berdasarkan hasil riset INDEF berada di level 3,7. Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata skor negara anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang sebesar 4,6.
Penyebab Tingginya Rasio Gini
Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan angka ketimpangan masyarakat yang diukur dengan rasio gini meningkat.
- Kesempatan memperoleh akses pendidikan yang tidak merata. Pendidikan menjadi salah satu solusi terbaik untuk memperbaiki taraf ekonomi seseorang atau keluarga dalam jangka panjang. Akses pendidikan yang tidak merata menyebabkan kemiskinan secara turun temurun terus terjadi.
- Ketidakseimbangan penghasilan antara pekerja informal dan formal. Di satu sisi pekerja informal memiliki gaji selangit sementara pekerja sektor informal bahkan penghasilannya di bawah UMR atau UMP. Program jaring pengaman sosial seperti kartu sehat, kartu pintar dan subsidi pemerintah mampu menekan angka rasio gini.
- Distribusi kekayaan yang tidak merata. Kita bisa melihat sendiri fenomena yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Hal itu mengindikasikan jarak ketimpangan ekonomi masyarakat terpaut jauh.
Tantangan Menurunkan Rasio Gini
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya rasio ketimpangan ekonomi di masyarakat adalah penerimaan negara khususnya dari pajak yang minim sehingga pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai perbaikan jaring pengaman sosial dan pembangunan infrastruktur.
Alokasi dana untuk jaring pengaman sosial di tanah air masih tergolong rendah yaitu di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal idealnya anggaran yang harus disiapkan negara adalah 3 persen dari PDB.
Angka itu tertinggal jauh dari negara-negara di Amerika Latin yang menggelontorkan anggaran perbaikan ekonomi di atas 5 persen. Negara-negara skandinavia bahkan lebih tinggi lagi yaitu 20 persen dari PDB.
Literasi Keuangan Bisa Jadi Solusi
Meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak hanya menjadi tugas negara namun sejatinya harus ada kesadaran dari diri kita sendiri untuk mau memperbaiki ekonomi.
Salah satunya dengan belajar tentang keuangan atau literasi keuangan. Tidak sedikit orang yang sebenarnya memiliki penghasilan yang cukup besar namun karena tidak paham literasi keuangan sehingga tidak mampu mengelola keuangan dengan bijak.
Menabung dan Investasi semestinya menjadi kebiasaan yang harus dimiliki masyarakat. Meski jumlah investor pasar modal mengalami peningkatan menjadi 9,3 juta investor Per Juli 2022, namun jumlah tersebut masih terbilang kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa.
Capaian tersebut tetap harus diapresiasi dengan upaya peningkatan literasi keuangan terutama bagi kalangan investor pemula dari generasi muda.
Hal itu disampaikan Ketua DK LPS Purbaya Yudhi Sadewa. Menurut mantan Kepala Danareksa Sekuritas tersebut literasi keuangan yang baik akan mendorong masyarakat lebih bijak dalam mengelola keuangan.
Tingginya minat investasi harus dibarengi dengan indeks literasi keuangan yang tinggi pula. Sebab investasi memiliki risiko. Jika investor hanya ikut-ikutan berinvestasi, bukannya untung malah justru merugi karena tidak memahami produk investasi dan manajemen risiko.
Purbaya mengajak seluruh pihak bersama-sama meningkatkan literasi keuangan masyarakat, khususnya melalui platform social media yang kekinian sangat dekat dengan masyarakat terutama kalangan anak-anak muda sehingga pesan literasi keuangan dapat disampaikan secara efektif dan efisien.