BeritaPerbankan – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengusulkan kepada pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan mulai Januari 2025.
Menurut Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, waktu pelaksanaan kenaikan tarif tersebut kurang tepat. Dikatakannya bahwa meskipun tingkat kunjungan relatif stabil, dampak nyata dari kenaikan tarif PPN ini akan terasa pada transaksi dan pendapatan para pelaku usaha. Kondisi ini dianggap semakin membebani daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah yang hingga kini masih tertekan.
Alphonzus menjelaskan sebenarnya daya beli masyarakat yang tertekan sudah nampak sejak awal 2024, namun pada semester pertama tahun ini, penjualan sempat terbantu oleh berbagai momentum seperti Tahun Baru, Pilpres yang berjalan lancar, Imlek, Ramadan, dan Idul Fitri yang menjadi puncak penjualan ritel. Meski begitu, pertumbuhan penjualan tetap tidak signifikan, hanya mencapai satu digit dibandingkan tahun 2023.
Setelah Idul Fitri, menurutnya, Indonesia biasanya memasuki masa low season, tetapi tahun ini kondisi tersebut terasa lebih berat akibat penurunan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Karena itu, APPBI meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan PPN ini. Menurut Alphonzus, kebijakan yang berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah bawah, sebaiknya ditunda atau dibatalkan.
Ia juga mengkritik kebijakan lain yang dinilai membebani masyarakat, seperti isu Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan berbagai pemotongan terkait asuransi maupun STNK. “Kebijakan-kebijakan seperti itu mengurangi uang yang dimiliki masyarakat, khususnya dari kelas menengah bawah. Hal ini sebaiknya dikurangi, ditiadakan, atau ditunda agar tidak semakin menambah beban mereka, termasuk rencana kenaikan tarif PPN ini,” tegas Alphonzus.