BeritaPerbankan – Kinerja keuangan industri asuransi yang memburuk beberapa tahun belakangan ini mendorong para pelaku industri asuransi, pemerintah dan DPR untuk segera merealisasikan program penjaminan polis.
Kasus gagal bayar klaim polis oleh beberapa perusahaan membuat citra industri asuransi di tanah air semakin memburuk. Tingkat kepercayaan masyarakat juga dinilai menurun sehingga harus segera dibenahi agar industri asuransi kembali sehat.
Saat ini pemerintah dan DPR masih membahas perihal program penjaminan polis yang tercantum dalam RUU PPSK. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditunjuk sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi.
Anggota Dewan Komisioner LPS Didik Madiyono mengatakan LPS siap menjalankan amanat undang-undang untuk menjamin polis, namun LPS membutuhkan waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program penjaminan polis.
Sebelumnya LPS sempat mengatakan setidaknya membutuhkan waktu 5 tahun bagi LPS untuk mempersiapkan diri sebelum menjalankan penjaminan polis.
Namun melihat adanya perbaikan di industri asuransi saat ini, Didik menambahkan, jika perbaikan terus terjadi maka bukan tidak mungkin program penjaminan polis oleh LPS dapat dilaksanakan lebih cepat yaitu 2 tahun setelah RUU PPSK resmi menjadi undang-undang.
“Pada intinya kita ingin sebelum masuk ke LPS ada perbaikan dari lembaga perasuransian sendiri. Asuransi ada waktu untuk memperbaiki diri, termasuk bagian risk management, pengelolaan, dan dari sisi prudent regulation, serta pengawasannya diperbaiki,” jelas Didik.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mendukung penuh percepatan pelaksanaan program penjaminan polis.
Togar mengatakan saat ini kebutuhan penjaminan polis semakin mendesak terutama menghadapi penerapan PSAK 74 pada tahun 2025 mendatang, yang berpotensi membuat sejumlah perusahaan asuransi berjatuhan.
Togar menjelaskan pencatatan pembukuan adopsi standar internasional itu membuka peluang terjadinya konsolidasi antar perusahaan asuransi seperti merger, akuisisi hingga potensi perusahaan mengembalikan izin usaha kepada otoritas karena tidak sanggup lagi bertahan menjalankan bisnis asuransi.
Untuk mengaplikasikan sistem tersebut industri asuransi harus mengeluarkan dana Rp 30-50 miliar atau setara dengan separuh dari modal minimum perusahaan asuransi Rp 100 miliar.
PSAK 74 yang mengusung contractual service margin berpotensi menggerus nilai ekuitas akibat pembebasan portofolio rugi (onerous).
Dalam rapat Panja RUU PPSK yang digelar oleh Komisi XI DPR bersama Pemerintah menghasilkan sejumlah kesepakatan terkait dengan program penjaminan polis asuransi.
Diantaranya soal iuran awal kepesertaan dan iuran berkala penjaminan. Dalam pasal 74 ayat (4) disepakati soal iuran akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) setelah berkonsultasi dengan DPR. Itu artinya rumusan iuran awal dan berkala penjaminan yang akan menerapkan satu tarif sudah diubah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menyambut baik usulan tersebut. Penetapan tarif iuran dapat dilakukan dengan mengacu pada tingkat risiko masing-masing perusahaan asuransi.
“Selain ada satu tarif, juga dibuka ruang untuk ditetapkan berdasarkan risiko. Jadi ini nanti membuka ruang bagi perkembangan selanjutnya. Jangan sampai kita tutup ruang untuk kita nanti iuran berbasis risiko,” ungkap dia.
Febrio menambahkan penetapan tarif iuran berbasis risiko mencerminkan asas keadilan bagi para pelaku usaha industri asuransi.
Perusahaan asuransi yang memiliki risiko besar harus membayar premi lebih besar dibandingkan perusahaan dengan kinerja keuangan yang lebih sehat.
Hal itu juga dapat memberikan motivasi bagi perusahaan asuransi agar dapat menjalankan usaha dengan penuh kehati-hatian dan memperhatikan aspek risiko sehingga mampu meminimalisir potensi gagal bayar.