BeritaPerbankan – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 107 pinjaman online (pinjol) resmi yang terdaftar dan memiliki izin dari OJK.
Data per Oktober 2021 OJK mencatat 85 pinjol yang telah mengantongi izin OJK dan 22 pinjol yang sudah terdaftar.
Jumlah tersebut mengalami penurunan disebabkan 7 pinjol harus tutup karena tidak sanggup lagi meneruskan bisnisnya.
Melansir dari detik.com ketujuh perusahaan pinjaman online yang izinnya dicabut oleh OJK adalah PT Berkah Finteck Syariah (Fintek Syariah), PT Pundiku Mitra Sejahtera (Pundiku), PT Serba Digital Teknologi (PINJAMINDO), PT Solusi Bijak Indonesia (Saku Ceria), PT Prima Fintech Indonesia (TEMAN PRIMA), PT Oke Ptop Indonesia (OK!P2P), dan PT BBX Digital Teknologi (BBX Fintech).
Banyaknya jumlah perusahaan pinjaman online maupun penetrasi kredit yang dilakukan sejumlah bank digital harus didukung dengan pengawasan ketat agar kepentingan nasabah dan pelaku industri keuangan terlindungi. Sehingga iklim usaha microfinance lebih positif dan berkelanjutan.
Hal itu disampaikan mantan Menteri Keuangan RI tahun 2014-2016, Bambang Brodjonegoro dalam Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan secara virtual, Minggu (24/10/2021).
Bambang mendorong pemerintah membentuk lembaga pengawas industri microfinance yang akan melengkapi kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di industri perbankan dan keuangan.
“Barangkali yang perlu diperkuat terutama di OJK-nya, saya enggak tahu apakah bisa 100 persen di bawah OJK, atau ada badan seperti OJK yang mengawasi microfinance, pinjaman atau pemberian pinjaman dalam skala kecil,” kata Bambang dalam Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan secara virtual, Minggu (24/10/2021).
Bambang mengatakan keberadaan lembaga pengawas microfinance sangat krusial di tengah menjamurnya pinjaman online di masyarakat. Sejauh ini regulasi fintech baru dilakukan oleh asosiasi dengan pengawasan OJK.
OJK sebagi lembaga keuangan dikatakan Bambang belum sepenuhnya mengatur regulasi bisnis perusahaan pinjaman online. Meski demikian Bambang mengapresiasi kinerja OJK yang membuat daftar perusahaan pinjaman online legal sebagai panduan bagi masyarakat untuk mengetahui mana pinjol legal dan ilegal.
Namun demikian, industri fintech dan bank digital perlu diperkuat dengan sistem dan mekanisme yang jelas untuk mencegah kepanikan dan ketidakpastian yang bisa saja terjadi dalam perjalanan industri fintech dan bank digital ke depan.
Lebih jauh Bambang memproyeksikan lembaga pengawas microfinance akan mampu mengantisipasi dampak buruk ketika terjadi krisis. Seperti yang dilakukan OJK terhadap lembaga perbankan dan keuangan di tengah situasi pandemi.
Dalam kesempatan yang sama Bambang juga berharap ada lembaga penjamin premi asuransi yang setara dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada industri perbankan.
LPS menjamin dana nasabah yang terdaftar di bank jika terjadi situasi bank gagal bayar maka nasabah akan mendapat jaminan penggantian dana simpanan maksimal Rp 2 miliar per nasabah per bank sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.
Hal serupa juga diharapkan dapat diaplikasikan pada industri asuransi. Apalagi beberapa saat lalu sempat heboh perusahaan asuransi yang gagal membayar premi nasabah karena kondisi keuangan yang kacau.
Meski jumlah pemilik polis tidak sebesar pemilik rekening tabungan, nyatanya risiko kerugian nasabah asuransi sudah mulai terlihat. Mulai dari kondisi keuangan perusahaan asuransi yang menyebabkan perusahaan gagal membayar premi hingga kasus miskonsepsi antara nasabah dan perusahaan asuransi atas klaim produk asuransi.
Bambang menyebut perusahaan asuransi harus menjelaskan secara gamblang polis yang ditawarkan kepada calon nasabah, termasuk risiko yang bisa terjadi dan cara penyelesaian yang sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku.
Bambang berharap lembaga penjamin premi asuransi dapat segera terealisasi agar pemilik premi menjadi lebih nyaman, aman dan tenang seperti halnya nasabah bank yang merasa terlindungi karena dana simpanannya dijamin oleh LPS.