BeritaPerbankan –Pemerintah menahan harga BBM dengan mengeluarkan dana subsidi hingga Rp 500 triliun. Dampaknya konsumsi minyak akan menanjak, bebani PT Pertamina persero dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bank Dunia menyoroti bahwa subsidi ini justru lebih banyak menguntungkan rumah tangga kalangan menengah dan atas. “Rumah tangga ini mengonsumsi antara 42% dan 73% solar bersubsidi dan 29% LPG bersubsidi.”
Sementara jika kedua subsidi ini dihilangkan akan menghemat 1% dari PDB pada tahun ini dan diganti dengan bantuan sosial yang ditargetkan untuk masyarakat rentan dan kalangan kelas menengah, dengan biaya 0,5% dari PDB. Dengan begitu, fiskal pemerintah akan lebih hemat sebesar 0,6% dari PDB.
Oleh karena itu, Bank Dunia memandang bahwa tak selamanya subsidi dapat menahan tingkat inflasi, karena adanya dorongan biaya dalam jangka pendek, mengingat harga-harga komoditas diperkirakan akan tetap stabil. Artinya kebijakan subsidi ini tidak akan berkelanjutan. Pemerintah perlu untuk menaikkan harga komoditas energi di dalam negeri.
“Harus ada alasan yang kuat mengenai perlunya rencana keluar dari subsidi energi tinggi melalui transmisi harga (passthrough) secara bertahap dan beralih ke subsidi yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan,” jelas Bank Dunia.
Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menahan harga bahan bakar minyak (BBM) dianggap melawan mekanisme pasar. Hal ini rawan akan penyelundupan dan kelangkaan pasokan. “Ini melawan mekanisme pasar,” ungkap Ekonom Senior Faisal Basri pada Rabu (29/6/2022)
Faisal menuturkan, Presiden Jokowi sebenarnya paham akan risiko tersebut. Termasuk sebagian besar BBM dikonsumsi oleh kalangan menengah atas. Begitu juga dengan LPG 3 kg. Terlihat reformasi struktural untuk BBM dijalankan pada 2014 silam dengan mencabut subsidi premium dan solar. “Subsidi itu dananya bisa dialokasikan ke infrastruktur. Jadi diawali dengan langkah luar biasa,” jelasnya.
“Kalau begini terus impor kita bisa mencapai Januari-Mei sudah US$ 7-9 miliar, kalau hal seperti ini terus akan kita habiskan untuk impor BBM bisa US$ 20 miliar satu tahun penuh ini,” papar Faisal.
“Karena gak ada adjustmen, harga naik permintaan juga naik karena pasar tidak merespons kenaikan harga BBM di dunia ini mengingat pemerintah terus mensubsidi tanpa batas. Sehingga mau gak mau ada switching dari pertamax ke pertalite. Sehingga pertalite subsidinya akan membengkak,” terangnya.