Berita Perbankan – Keperkasaan mata uang dolar AS sebagai mata uang cadangan devisa global perlahan mulai terkikis setelah aksi meninggalkan dolar (dedolarisasi) yang dilakukan oleh sejumlah negara.
Dalam kerjasama perdagangan bilateral negara-negara di Asia dan Afrika mulai menjajaki penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam kegiatan perdagangan internasional dan mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap dolar AS yang selama ini mendominasi cadangan devisa global di dunia.
Aksi dedolarisasi yang terjadi di Asia mengekor kebijakan China dan Brasil yang menyerukan untuk meninggalkan dolar AS. Kedua negara tersebut menyepakati penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan pada Maret 2023 dengan nilai perdagangan tercatat menembus angka US$ 171,49 miliar.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan fenomena ‘buang dolar’ oleh sejumlah negara berimbas pada berkurangnya penggunaa dolar secara global. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan adanya penurunan jumlah dolar di pasar global yang awalnya berkisar 70 persen, kini hanya tinggal 50 persen.
“Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. “Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%,” tegas Perry.
Meski demikian menurut data Komposisi Mata Uang Cadangan Devisa (COFER) IMF, dolar AS masih mendominasi cadangan devisa global pada kuartal empat tahun 2022 sebanyak 58,36 persen.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa menilai dolar AS masih relatif kuat meskipun sejumlah negara mulai meninggalkan dolar dan beralih ke mata uang lokal dalam perdagangan bilateral maupun pembiayaan dalam negeri.
“Suplai di pasar cukup, dolar simpanan masih cukup baik. Tidak ada gerakan atau pergerakan atau bahwa kita atau orang-orang meninggalkan dolar,” katanya dalam konferensi pers virtual, Jumat (26/5/2023).
Purbaya mengatakan pada tahun 1970-an para pengamat memprediksi dolar AS akan tergeser dengan yen Jepang seiring dengan pertumbuhan ekonomi negeri sakura itu yang terus menguat, namun dolar AS berhasil mementahkan perkiraan para ekonom. Kebangkitan mata uang euro di Eropa juga belum dapat menggeser dominasi dolar AS.
Purbaya juga mengatakan bahwa dolar AS beberapa kali menangkis perkiraan pengamat. Saat pertumbuhan ekonomi Jepang menguat tahun 1970-an, banyak ekonom menilai yen akan menggeser dolar AS. Begitu pula dengan mata uang euro yang ternyata kebangkitannya tidak membuat posisi dolar AS bergeser.
“Orang masih suka dolar. Sebagian besar masih pakai dolar, 80% lebih,” kata Purbaya.
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, kekinian terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan memperkuat mata uang lokal melalui kerjasama penggunaan transaksi mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) yang memungkinkan pembayaran lintas negara (cross border) dengan mata uang lokal masing-masing negara.
Bank Indonesia dan Bank of Korea (BoK) sepakat menggunakan mata uang lokal rupiah dan won dalam transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan.
BI juga sudah menyepakati kerjasama serupa dengan India, dan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina pada November 2022 dalam agenda KTT G20 di Bali.
Perry tak menampik adanya fenomena dedolarisasi, namun upaya BI dan sejumlah bank sentral di Asia Tenggara sebagai upaya memperkuat mata uang lokal yang akan berdampak pada stabilitas rupiah.
Dengan adanya LCT, WNI yang ingin berbelanja di negara yang dikunjungi dapat bertransaksi dengan mata uang rupiah sehingga lebih mudah dan praktis. Hal itu juga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pariwisata.
Fenomena dedolarisasi, dikatakan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgievas perlahan akan menggeser dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Di sisi lain, aksi meninggalkan dolar AS didorong oleh sanksi Amerika Serikat untuk Rusia. Tren ini berdampak positif terhadap kebangkitan sejumlah mata uang lokal, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.