BeritaPerbankan – Fenomena kemunculan bank digital menjadi gerbang dimulainya digitalisasi industri perbankan. Sejumlah bank sudah mengklaim diri sebagai bank digital dan menawarkan beragam produk unggulan dengan dukungan teknologi terbaru yang akan semakin memudahkan nasabah dalam kegiatan transaksi, pembayaran hingga investasi.
Menurut catatan OJK pada tahun 2021 sudah ada14 bank digital baik yang sedang berproses menuju go-digital maupun yang sudah menasbihkan diri sebagai bank digital secara penuh.
Mereka adalah Jenius, Wokee, Digibank, Bank Aladin Syariah, TMRW, Jago dan Motion Banking.
Sementara bank yang sedang berproses menuju bank digital adalah Bank Digital BCA, Bank Neo Commerce, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, BRI Agroniaga, Bank Capital dan LINE Bank.
Meski begitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan tidak ada dikotomi antara bank konvensional dan bank digital. Oleh sebab itu OJK mendorong bank digital seperti halnya bank konvensional wajib menggerakkan ekonomi dengan meningkatkan penyaluran kredit sesuai dengan fungsi utama bank.
OJK mendorong bank digital memiliki ekosistem sendiri yang kokoh agar dapat memaksimalkan fungsi dan kegiatan operasional bank itu sendiri.
Bagi yang bank yang belum memiliki ekosistem sendiri maka alternatifnya adalah berkolaborasi dengan entitas lain untuk mendukung kinerja maksimal bank digital di tengah ketatnya persaingan di industri perbankan.
Bank digital yang mengklaim memiliki keunggulan dari sisi teknologi diharapkan dapat memberikan rasa aman yang lebih bagi nasabah dengan manajemen risiko yang lebih baik, terutama dalam menangani dan mengantisipasi kejahatan siber di industri perbankan.
Budi Frensidy, Pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia mengatakan yang paling penting bukanlah nilai valuasi bank digital namun bagaimana bank digital bisa memiliki ekosistem yang baik agar dapat menjalankan bisnis ini dengan baik.
Budi menambahkan sejumlah bank besar yang ikut dalam persaingan terbuka di industri perbankan digital telah memiliki modal ekosositem yang baik diantaranya bank yang berada di balik nama besar BCA, BRI, Emtek dan Astra.
Sementara yang lainnya hanya ikut tren kemunculan bank digital untuk menaikkan valuasi mereka di pasar modal.
“Yang ada grup besar di belakangnya seperti BCA, Astra, BRI mestinya oke. Berikutnya mungkin grup Emtek dan lainnya,” ujar Budi.
Bank digital yang berangkat dari eksositem yang kuat dan milik sendiri dapat membangun sendiri kredit score nasabah sehingga bisa memberikan kredit murah namun tetap dapat menekan risiko.
Budi mencontohkan bagaimana Kakaobank yang berangkat dari sebuah aplikasi percakapan bernama Kakaotalk yang mampu meraih popularitas. Tercatat 90% lebih warga Korea Selatan adalah pengguna setia Kakaotalk.
Setelah tujuh tahun membangun soliditas dan menjaring pengguna yang loyal, Kakaotalk memperluas lini bisnis mereka dengan mendirikan bank digital bernama Kakaobank.
Role model bank digital lain yang disebutkan Budi adalah NuBank. Neo bank asal Brasil ini disebutkan Budi telah berhasil membuat score kredit sendiri sehingga mempermudah perusahaan dalam penyaluran kredit dengan risiko yang bisa diminimalisir.
Potensi NuBank bahkan sampai dilirik investor kelas dunia Warren Buffet. NuBank sendiri memiliki cabang di Jerman, Meksiko hingga Argentina.
Bank digital ini didirikan oleh David Vélez pada tahun 2013 yang menawarkan produk tabungan, asuransi jiwa hingga kartu kredit. NuBank bahkan disebut-sebut sebagai bank digital dengan valuasi terbesar di dunia.
Kinerja positif NuBank dan Kakaobank diharapkan dapat diadaptasi oleh seluruh bank digital di Indonesia agar dapat memperkuat sistem ekonomi dan keuangan nasional.
Sementara itu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mendorong bank digital untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya simpanan perbankan yang dijamin LPS agar saldo rekening nasabah terjamin saat bank dicabut izin usahanya.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa melihat masih ada bank digital yang menawarkan cashback dan bunga simpanan yang tinggi melebihi tingkat bunga penjaminan LPS dalam kegiatan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
Purbaya mengatakan LPS tidak melarang bank digital memberikan bunga simpanan yang tinggi, namun bank digital harus terbuka kepada nasabah tentang risiko simpanan yang tidak dijamin LPS karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan berlaku.
Seperti halnya bank konvensional, tingkat bunga penjaminan LPS yang berlaku untuk bank digital adalah 3,5% untuk simpanan dalam Rupiah dan 0,25% simpanan dalam valuta asing.