Beritaperbankan – Berawal dari krisis moneter (krismon) yang menghantam Indonesia pada 1998. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang kini berusia 16 tahun tidak hanya mempunyai tugas menjamin simpanan nasabah, tapi juga memelihara stabilitas sistem perbankan.
Selain itu, LPS memiliki beberapa tugas seperti merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif menjaga stabilitas perbankan dan merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.
Kontribusi LPS terlihat ketika di saat Pandemi Covid-19 sempat menyalakan tanda bahaya terkait kondisi stabilitas sistem keuangan tahun lalu. Namun tidak ada bank umum yang gagal dan ditangani oleh LPS pada tahun lalu.
Padahal, jika perekonomian mengalami krisis atau shock, perusahaan atau rumah tangga dapat mengalami kesulitan keuangan sehingga rentan menarik dananya di bank untuk memenuhi kebutuhan.
Penarikan dana besar-besaran dapat menganggu likuiditas yang dapat memicu bank gagal. Kegagalan satu bank dapat menimbulkan efek menular kepada bank lain dan menganggu stabilitas sistem keuangan.
Tapi sinergi kebijakan antar KSSK yang efektif membuat hal itu tidak terjadi pada tahun lalu. Kepercayaan nasabah terhadap perbankan, menurut Lana, justru tinggi selama Pandemi Covid-19. Hal ini antara lain terlihat pada pertumbuhan simpanan yang mencapai dua digit sepanjang tahun lalu.
“LPS sebagai bagian dari KSSK telah melaksanakan mandat UU, di antaranya, mencegah ada bank umum yang gagal dan menimbulkan efek tularan kepada bank lain, serta menjaga kepercayaan nasabah,” kata Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih.
Meski tak ada bank umum yang berakhir gagal, LPS mencatat terdapat sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup. Namun, seluruh kewajiban BPR tersebut telah diselesaikan oleh LPS.
LPS telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk membantu mempercepat pemulihan ekonomi, antara lain kebijakan tingkat bunga penjaminan yang rendah, serta relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan.
Kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari kebijakan terpadu yang dikeluarkan otoritas resolusi tersebut bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna mempercepat pemulihan ekonomi.
Pemangkasan bunga penjaminan pada awal tahun ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain tren penurunan suku bunga simpanan, kondisi dan prospek likuiditas perbankan yang relatif longgar, serta perkembangan terkini dari pemulihan perekonomian. Dengan demikian, kebijakan itu diharapkan dapat memberikan ruang lanjutan bagi penurunan suku bunga kredit perbankan yang pada gilirannya akan mendukung pembiayaan sektor riil.
Sementara kebijakan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan diberikan untuk tiga periode pembayaran premi, yaitu semester II 2020, semester I 2021, dan semester II 2021. Bank juga diberi kelonggaran untuk menunda pembayaran premi penjaminan selama enam bulan dengan denda keterlambatan sebesar 0%. Ini agar bank bisa memiliki ruang untuk mengelola likuiditasnya.