BeritaPerbankan – Pandemi covid-19 telah mengubah iklim bisnis industri perbankan di tanah air. Pembatasan kegiatan masyarakat mengharuskan pelaku industri perbankan dan nasabah melakukan transaksi perbankan melalui jarak jauh (online).
Layanan digital perbankan semakin diminati masyarakat saat pandemi. Berdasarkan survey FICO sebanyak 54% konsumen Indonesia lebih suka memanfaatkan kanal digital (mobile banking, internet banking) untuk mengakses layanan perbankan dan berinteraksi dengan layanan konsumen.
Layanan digital perbankan Jenius milik BTPN mencatat ada lonjakan signifikan penggunaan aplikasi Jenius selama pandemi. Jumlah pengguna mobile banking meningkat dari 71% menjadi 83%. Sementara jumlah pengguna ATM justru turun dari 45% menjadi 34%.
Temuan Jenius tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat ‘dipaksa oleh keadaan’ mulai hijrah ke layanan digital perbankan yang lebih efektif, efisien dan bisa diakses 24 jam.
Jenius Study juga melakukan penelitian tentang kondisi keuangan masyarakat digital savvy melalui perubahan cara transaksi masyarakat. Survey dilakukan kepada 567 responeden berusia 26-40 tahun
Hasilnya sebesar 82% responden membatalkan atau menunda rencana penggunaan dana karena pandemi yang membuat mereka harus menata ulang pengelolaan keuangan.
Sebanyak 85% responden memilih menunda agenda liburan. Rencana investasi juga harus ditunda atau dibatalkan oleh 26% responden. Sementara 2% diantaranya menunda membeli properti, membeli kendaraan 16% dan menunda melanjutkan pendidikan sebanyak 15%.
Konsekuensi dari pandemi covid-19 selama dua tahun terakhir menciptkan ketidakpastian kondisi finansial masyarakat. Tidak heran sebagian besar masyarakat memilih mengubah alokasi dana ke pos-pos yang dianggap penting dan mendesak serta instrumen investasi yang likuid.
Sebanyak 38% responden mengalokasikan dana ke dalam tabungan, investasi 24%, pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari 14%, instrumen deposito 9% dan dana kesehatan sebanyak 3%.
Transformasi digital di sektor perbankan tak dapat dibendung lagi. Terlebih setelah diterbitkannya peraturan OJK (POJK) No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum pada Agustus lalu.
POJK yang baru saja diterbitkan membawa angin segar untuk bisnis digital perbankan, yang digadang-gadang menjadi masa depan industri perbankan yang sudah mulai bermigrasi ke layanan digital sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman dan kebutuhan nasabah.
Perubahan kebiasaan aktifitas perbankan masyarakat ke kanal digital mencuri perhatian para konglomerasi yang ikut mendirikan bank digital.
Beberapa diantaranya adalah GoTo yang berkolaborasi dengan Bank Jago untuk memberikan akses digital perbankan bagi pengguna aplikasi Gojek.
Persaingan industri bank digital semakin ketat dengan kehadiran Grup Djarum yang meluncurkan bank digital bernama Blu, yang merupakan anak usaha PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).
Layanan digital perbankan Blu resmi diluncurkan pada 2 Juli 2021. Blu beroperasi tanpa kantor cabang dan bisa diakses kapan saja dan dimana saja.
Salah satu fitur andalan Blu adalah nasabah bisa membuka rekening hingga 10 rekening tabungan agar nasabah dapat dengan mudah menyimpan dana di pos-pos yang berbeda.
Pengusaha Chairul Tanjung juga ikut menjadi pemain dalam industri digital perbankan. CT Corp menyiapkan bank digital bersama PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).
Perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan Ant Financial milik Jack Ma, PT. AKulaku SIlvrr Indonesia menjalin kerjasama dengan PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB).
Ramai-ramai grup konglomerasi mendirikan bank digital dapqt menjadi indikator bahwa industri bank digital cukup menjanjikan di masa depan.
Pengamat perbankan, Paul Sutaryono mengatakan bank digital memiliki keunggulan dalam menjangkau nasabah yang lebih luas dibandingkan bank konvensional.
Mengandalkan kecanggihan perangkat teknologi informasi, peluang bank digital memperoleh profit dari pendanaan dan pendapatan dari fee based income.
Logik sederhananya semakin banyak nasabah, maka semakin besar dana yang dapat dihimpun bank dan jumlah transaksi akan meningkat.
Pertempuran sengit industri bank digital terpampang nyata dengan perang suku bunga simpanan yang ditawarkan bank digital untuk menarik minat calon nasabah.
Aksi pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan bank digital diwarnai dengan perang promo bunga simpanan hingga 7% dan bunga deposito mencapai 8%.
Tingginya suku bunga yang dipatok bank digital jika dilihat dari sisi bisnis memang masuk akal karena bank membutuhkan likuiditas yang besar.
Meski demikian Paul meminta masyarakat memahami risiko yang dapat ditimbulkan jika tingkat bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang saat ini berada di level 3,5%.
Apabila bank mengalami kesulitan likuiditas maka dana nasabah tidak dijamin oleh LPS karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa merespon tingkat suku bunga yang ditawarkan sejumlah bank digital.
Purbaya mengingatkan kepada nasabah bahwa simpanan dengan bunga di atas bunga penjaminan tidak akan dijamin oleh LPS.
Dia juga meminta kepada pihak bank agar berterus terang kepada nasabah tentang resiko simpanan yang tidak dijamin LPS.
Purbaya menambahkan bahwa pemberian bunga simpanan yang tinggi tidak menyalahi aturan sepanjang pihak bank menjelaskan kepada nasabah tentang resiko yang bisa terjadi di masa mendatang.