Berita Perbankan – Bos Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) buka suara tentang keluhan Presiden Joko Widodo perihal perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) atau likuiditas perbankan jelang akhir tahun 2023 ini.
Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, pada Rabu (27/12/2023) menyoroti masalah kekeringan likuiditas di Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi RI berada pada tingkat yang cukup memuaskan sekitar 5%. Menurutnya, fenomena ini disebabkan oleh crowding out dana masyarakat, yang terjadi karena Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia telah menerbitkan terlalu banyak instrumen keuangan, seperti Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).
“Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu,” ujar Jokowi.
Menurut data terbaru dari Bank Indonesia (BI), pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan hanya mencapai 3,9% secara tahunan per Oktober 2023, mencapai total Rp 7.982,3 triliun. Angka pertumbuhan ini menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,4% (yoy).
Pada bulan November 2023, pertumbuhan DPK mengalami stagnasi dengan total mencapai Rp 8.029,7 triliun, tumbuh sebesar 3,8% (yoy). Pertumbuhan DPK tersebut dipengaruhi oleh kenaikan DPK perorangan sebesar 5,1% secara tahunan, sementara DPK korporasi tumbuh sebesar 3,1% secara tahunan.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa perlambatan pertumbuhan likuiditas perbankan terjadi karena semakin banyaknya pilihan instrumen investasi yang diminati masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak hanya menempatkan dana mereka di bank, tetapi juga mengalokasikannya ke berbagai instrumen investasi lainnya.
“Dulunya hanya di DPK, di tabungan di perbankan, sekarang bisa beli SBN, ritel maupun investasi-investasi yang lain, sehingga memang untuk kelompok menengah ini memang penurunan DPK antara lain ada pergeseran dari dulunya di DPK ke pembelian obligasi pemerintah,” tutur Perry.
Menurut Deputi Gubernur BI, Juda Agung, penurunan pertumbuhan DPK terutama disebabkan oleh golongan nasabah korporasi yang terpengaruh oleh penurunan pendapatan akibat pelemahan harga-harga komoditas.
Meskipun pertumbuhan simpanan nasabah di bank melambat, Juda memastikan bahwa likuiditas perbankan tetap terjaga tanpa gangguan, dengan capaian rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tetap tinggi, yaitu 26,04%.
“Masih di angka 26%, ini jauh lebih tinggi dari rata-rata historisnya sekitar 20% dan juga threshold 10%,” tegas Juda.
Juda menambahkan bahwa perlambatan pertumbuhan DPK tidak akan menghambat penyaluran kredit. Bank Indonesia menilai likuiditas perbankan masih mencukupi, terutama dengan masuknya investasi ke Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa kondisi likuiditas perbankan Indonesia masih dalam level yang aman di tengah perlambatan pertumbuhan DPK dalam dua bulan terakhir ini.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan dana simpanan nasabah ini terkait dengan proses normalisasi ekonomi Indonesia setelah pandemi Covid-19.
“Justru angka-angka sekarang ini kembal mendekati sama dengan prapanedemi dalam arti besaran nominalnya,” kata Mahendra.
Selain itu, Mahendra menduga bahwa perlambatan pertumbuhan DPK terkait dengan banyaknya opsi penempatan dana yang tersedia bagi masyarakat. Ia menjelaskan, ada berbagai instrumen penempatan dana yang jadi pilihan masyarakat untuk berinvestasi, termasuk investasi dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar modal.
Merespon keluhan Presiden Joko Widodo, Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa tidak tinggal diam. Dia menyatakan bahwa LPS sedang melakukan penyelidikan mendalam terkait kemana aliran dana masyarakat bermuara.
“Kalau lihat dari data-data yang bisa kita monitorkan, alat likuid dan lain-lain masih bagus. Ada sinyal seperti itu bahwa ada semacam kekeringan kurangnya likuiditas perbankan itu agak mengejutkan kami. Kami sedang meneliti lebih dalam ya, mudah-mudahan kita tahu apa penyebabnya,” kata Purbaya di acara LPS Awards.
Purbaya menjelaskan beberapa kemungkinan terkait perlambatan likuiditas, antara lain dana masyarakat hanya terkonsentrasi di bank besar atau di pemerintah, khususnya Bank Indonesia (BI). Dia mengatakan pihaknya akan melakukan investigasi lebih mendalam.
“Dalam dunia perbankan, saat ekonomi melambat, uang tampaknya menghilang dari sistem perekonomian, fenomena ini dikenal sebagai ‘the cash of missing money’ dalam konteks ekonomi. Hal ini tidak mudah dijelaskan secara universal karena setiap negara memiliki dinamika berbeda. Oleh karena itu, kita perlu melakukan penelitian lebih mendalam,” tutur Purbaya.