BeritaPerbankan – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan berdasarkan survei jumlah masyarakat Indonesia yang menabung di bank baru sekitar 49 persen dari populasi penduduk usia dewasa pada tahun 2022.
Purbaya mengatakan jumlah tersebut masih relatif kecil. Sebagian besar masyarakat masih gemar menyimpan uang di rumah, padahal menyimpan uang di rumah seperti di dalam lemari, di bawah kasur atau laci meja cukup berisiko.
Seperti beberapa kasus yang sempat viral yaitu uang puluhan juta yang habis dimakan rayap, sementara penggantian uang rusak oleh Bank Indonesia (BI) memiliki regulasi tertentu sehingga seluruh uang yang rusak berpotensi tidak semuanya bisa diganti dengan uang baru oleh BI.
Selain itu risiko uang hilang karena tindak kriminalitas seperti perampokan atau pencurian juga rentan terjadi. Ditambah dengan potensi terjadinya bencana alam seperti gempa, longsor atau banjir yang bisa saja melenyapkan uang kas masyarakat.
Lain halnya dengan menyimpan uang di bank. Selain aman dari risiko-risiko di atas, simpanan nasabah perbankan juga dijamin oleh LPS hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank.
Purbaya menjelaskan salah satu alasan masyarakat yang belum mau menyimpan uang di bank adalah kekhawatiran uang mereka hilang saat bank ditutup.
Menanggapi hal itu Purbaya akan terus berupaya berkolaborasi dengan perbankan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang program penjaminan LPS.
Selain itu Purbaya juga menegaskan jika ada bank yang jatuh dan dilikuidasi maka simpanan nasabah yang memenuhi syarat 3T yaitu tercatat di sistem pembukuan bank, tidak menerima bunga simpanan di atas tingkat bunga penjaminan dan tidak menyebabkan bank gagal seperti kredit macet, maka simpanan nasabah akan diganti oleh LPS.
Purbaya menambahkan LPS telah meningkatkan pelayanan bagi nasabah bank yang dilikuidasi dengan proses pelayanan yang lebih cepat hingga 7 hari sesuai dengan standar internasional.
“Masih ada sebagian masyarakat yang khawatir uangnya hilang karena bank tersebut nanti ditutup. Lalu masayrakat yang tinggal di pelosok juga masih perlu bantuan pihak lain untuk mengakomodir mereka, atau dari pihak Perbankan nya sendiri, terutama yang kecil, yang belum cukup mendekati masyarakat tersebut. Padahal jika misalnya ada bank jatuh karena berbagai sebab, pelayanan kami akan lebih cepat hingga 7 hari sesuai dengan standar internasional”, ungkap Purbaya.
Menurut Purbaya masih rendahnya jumlah masyarakat yang memiliki rekening bank tidak lepas dari indeks literasi keuangan yang masih relatif rendah meskipun ada kenaikan dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022.
Berdasarkan SNLIK 2022 indeks literasi keuangan nasional tumbuh menjadi 49,68 persen dan indeks inklusi keuangan juga tercatat naik menjadi 85,1 persen.
“Jadi kita harus mengedukasi habis-habisan, supaya masyarakat yakin dan percaya untuk menyimpan dananya di bank,” ujarnya.
BI menargetkan pada tahun 2025 dapat membuka akses layanan perbankan untuk 91,3 juta penduduk yang belum tersentuh layanan perbankan (unbankable) pada tahun 2025.
Hal itu tertuang dalam Blue Print Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) dengan memanfaatkan teknologi digital untuk memberikan layanan perbankan kepada masyarakat.