Berita Perbankan – Program Penjaminan Polis (PPP) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan wewenang terbaru yang dijalankan sesuai dengan mandat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UU P2SK). Dalam UU tersebut, LPS diberikan wewenang untuk melaksanakan program ini paling cepat lima tahun sejak disahkannya UU tersebut.
Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner LPS, menjelaskan bahwa saat ini LPS tengah mempersiapkan struktur organisasi dan peraturan turunan dari UU tersebut. Persiapan ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan PPP yang diharapkan dapat meningkatkan citra industri asuransi di dalam negeri. Lebih lanjut, PPP diharapkan juga dapat mendukung stabilitas sistem keungan dan meningkatkan perlindungan konsumen di sektor asuransi.
“Kami tengah melakukan persiapan seluruh peraturan pelaksanaan dari amanat baru tersebut. Selain itu kami juga menyusun struktur organisasi yang baru untuk mendukung PPP, semoga dalam waktu dekat persiapan itu sudah matang,” ujar Purbaya.
Seperti diketahui sejak tahun 2005 LPS telah menjamin simpanan nasabah perbankan, yang mana LPS memberikan penggantian saldo rekening nasabah bank yang ditutup izin usahanya oleh otoritas pengawas dengan nilai penjaminan mencapai Rp 2 miliar per nasabah per bank dengan syarat 3T yaitu simpanan tercatat di sistem pembukuan bank, tidak menerima bunga simpanan melebihi tingkat bunga penjaminan dan tidak menyebabkan bank merugi seperti kasus kredit macet.
LPS menjadwalkan pelaksanaan PPP paling cepat dilakukan pada 12 Januari 2028 sesuai dengan amanat UU P2SK yang disahkan pada Januari 2023 lalu. Purbaya menjelaskan, industri perbankan tidak perlu khawatir soal pengelolaan keuangan penjaminan, sebab LPS memastikan akan memisahkan pengelolaan premi penjaminan simpanan dan polis asuransi.
Purbaya menekankan bahwa PPP adalah bentuk perlindungan bagi nasabah asuransi, bukan penyelamatan perusahaan asuransi. Harapannya adalah industri asuransi dalam negeri mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang lebih besar dan menjadi pemain utama di pasar asuransi dalam negeri.
“PPP ini pada dasarnya adalah perlindungan kepada nasabah asuransi bukan penyelamatan perusahaan asuransi. Semoga ke depannya industri asuransi dalam negeri lebih mendapatkan kepercayaan masyarakat, dan berkuasa di pasarnya sendiri” tambah Purbaya.
Berdasarkan UU No 4/2023, LPS bertanggung jawab sebagai penyelenggara PPP untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi yang izin usahanya dicabut akibat kesulitan keuangan. Dalam pelaksanaan PPP, LPS akan menjamin polis asuransi dan melakukan likuidasi perusahaan asuransi jika diperlukan.
Selain itu, Purbaya menambahkan, PPP juga merupakan tindak lanjut dari implementasi UU PPSK yang mengharuskan setiap perusahaan asuransi menjadi peserta penjamin polis. Perusahaan asuransi yang ingin mengikuti program ini harus memenuhi tingkat kesehatan tertentu yang akan dievaluasi oleh LPS bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dengan hadirnya UU PPSK, kata Purbaya, stabilitas sistem keuangan semakin kokoh dan peran industri jasa keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi semakin kuat. LPS sebagai lembaga juga akan berfokus pada upaya meminimalkan risiko kegagalan bank dan melakukan keterlibatan dini serta resolusi dalam penanganan permasalahan bank.
“Kemudian, hal penting lainnya dari adanya UU PPSK adalah mendorong LPS menjadi lembaga yang tidak lagi hanya berfokus meminimalisir kerugian (loss minimizer) pada saat terjadi kegagalan bank, tetapi kini berfokus pada meminimalisir risiko (risk minimizer) yang memiliki fungsi untuk meminimalkan risiko terganggunya Stabilitas Sistem Keuangan, termasuk asesmen risiko Bank dan kewenangan untuk melakukan keterlibatan dini (early intervention) dan resolusi Bank dalam penanganan permasalahan Bank,” tutup Purbaya.
Dengan segala langkah dan peraturan yang disusun, diharapkan LPS dapat menjalankan Program Penjaminan Polis dengan baik dan memberikan perlindungan yang optimal kepada nasabah asuransi serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada industri keuangan di Indonesia.
LPS meminta industri asuransi memanfaatkan masa transisi lima tahun ini untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, meningkatkan manajemen risiko dan kesehatan keungan perusahaan. Semakin rendah tingkat risiko perusahaan asuransi maka premi yang dibayarkan kepada LPS juga lebih rendah.
Selanjutnya, LPS juga mengimbau pada masyarakat untuk selektif dalam membeli produk asuransi dengan memperhatikan aspek risiko, memahami secara mendalam produk asuransi yang dibeli serta pastikan perusahaan asuransi yang mengelola dana nasabah merupakan entitas yang terdaftar dan telah mengantongi izin dari otoritas. Penting juga bagi calon pemegang polis mencari tahu tentang kredibilitas perusahaan asuransi sebelum membeli produknya.