Berita Perbankan – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan penyebab maraknya kasus investasi bodong yang terjadi akhir-akhir ini. Purbaya menerangkan, kasus investasi bodong salah satunya disebabkan oleh kesalahan investor dan regulator.
Purbaya menyoroti soal perilaku para investor baru yang mulai berinvestasi karena alasan sedang tren atau sekedar ‘ikut-ikutan’. Perilaku tersebut juga dikenal dengan istilah FOMO (fear of missing out), yang merujuk pada perilaku seseorang yang takut kehilangan momen saat ada sesuatu yang sedang menjadi tren terbaru. Orang FOMO hanya sekedar ikut-ikutan tanpa memahami secara mendalam makna dari apa sebenarnya yang mereka lakukan.
Dalam konteks investasi, Purbaya menyebutkan kekinian banyak pelaku investasi yang terperangkap dalam praktik investasi ‘ikut-ikutan’ tanpa membekali diri dengan literasi keuangan dan pemahaman tentang instrumen investasi yang dipilih, hanya karena tergiur dengan testimoni figur terkenal yang menjanjikan imbal hasil investasi yang tinggi dalam waktu yang cepat.
Takut kehilangan peluang, mungkin itulah yang ada di benak para investor muda yang minim pengalaman, dimana mereka terpikat untuk menanamkan modal hanya karena janji profit yang besar. Namun, disayangkan praktik semacam ini bisa berujung pada kerugian finansial yang signifikan bagi investor, terutama mereka dari kalangan generasi muda.
“Jadi saya selalu bilang invest smart, artinya Anda kalau investasi mengerti betul apa yang anda invest. Jangan ikut-ikutan orang. Sekarang ada kan produk seperti robot trading yang akhirnya membuat Anda rugi,” ujarnya dalam acara Like It, Senin(14/8/2023).
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kesalahan tidak hanya terletak pada pihak investor yang mengikuti tren tanpa memiliki pemahaman yang memadai dalam literasi keuangan. Ia menyatakan pihak regulator juga belum maksimal dalam memberikan edukasi kepada para investor mengenai produk investasi mana yang layak dan mana harus dihindari, guna mitigasi risiko terjadinya investasi bodong yang merugikan investor.
“Maraknya investasi bodong, jadi kesalahannya dimana? Ya, kesalahan di investor namanya karena enggak mengerti, tapi yang kedua kalau denger ceramah dari para pejabat, jangan lupa untuk nyalahin regulatornya juga, kenapa regulator tidak memberi tahu investor mana yang bagus dan jelek,” tambahnya.
Mengacu pada data statistik dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada awal Agustus 2023, bahwa komposisi investor di pasar modal saat ini didominasi oleh kelompok generasi muda yang berusia di bawah 30 tahun, yakni mencapai proporsi sebesar 57,26 persen dari total jumlah investor ritel.
Peluang pertumbuhan jumlah investor dari generasi milenial dan generasi Z semakin terbuka lebar, jika kita merujuk pada proyeksi yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut prediksi BPS, Indonesia diperkirakan akan mengalami puncak dari bonus demografi, yaitu periode di mana jumlah penduduk usia produktif (muda) akan lebih dominan daripada kelompok non-produktif, antara tahun 2020 hingga 2030. Pada tahun 2030 diperkirakan usia produktif akan menyumbang sekitar 68,01 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
LPS menyebutkan masa depan sektor investasi pasar modal cerah di tangan generasi muda. Namun, menurut Purbaya, untuk memaksimalkan modal bonus demografi ini, perlu dilakukan edukasi literasi keuangan yang lebih masif guna menciptakan iklim investasi yang sehat dan aman bagi masyarakat.
“Berdasarkan hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2022 dari rekan-rekan Otoritas Jasa Keuangan, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022, indeks literasi keuangan mencapai angka 49,68 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai angka 85,10 persen. Sementara untuk 2023, kita menargetkan indeks literasi keuangan dapat meningkat menjadi 53 persen dan inklusi keuangan sebesar 88 persen,” paparnya.
Purbaya menyatakan, agar tujuan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan dapat tercapai, diperlukan pendekatan strategis yang menyatukan berbagai elemen. Semua pihak yang terlibat harus bekerja keras untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang produk-produk dalam industri keuangan nasional, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan risiko yang melekat pada produk-produk tersebut.
“Jadi nanti, investor harus lebih aktif kalau enggak ngerti, tanya ke regulator. Kalau regulatornya enggak bisa, minta mereka menyiapkan sarana bagi Anda untuk belajar, supaya Anda mengerti betul apa yang Anda investasi,” sebutnya.