BeritaPerbankan – Adanya kerjasama antara LPS dengan Batik Fractal, diharapkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Sukabumi bisa meningkat kapasitasnya, khususnya dalam hal membatik, dan Sukabumi diharapkan ke depan nanti bakal menjadi salah satu sentra batik.
“Nah kenapa Sukabumi? Ini guna mengembangkan potensi batik Sukabumi menjadi tujuan destinasi batik seperti wilayah lain semisal Cirebon, Pekalongan dan Yogyakarta,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa di Sukabumi.
LPS akan terus memantau perkembangan dari Batik Fractal, tidak hanya dari sisi design tapi juga dari kualitas Bahan yang nantinya digunakan baik dalam bentuk Kemeja, kaos hingga Jaket.
Fonna Melani, peserta pelatihan yang juga berprofesi sebagai pembatik saat ditemui di Bale Jayanti, Sukabumi, mengatakan, dengan adanya digitalisasi batik, diharapkan Sukabumi menemukan ciri khas dan menciptakan palet warna khusus yang menjadi icon daerah dengan kearifan lokal, sehingga menjadi pembeda antara batik Sukabumi dengan daerah lain seperti halnya batik Sogan di Solo ataupun batik Megamendung Cirebon.
Fonna menuturkan, jika di Sukabumi itu tidak ada budaya membatik. Namun suatu saat dirinya pernah pergi daerah Bakaran, di Juwana, Pati. Desa Bakaran dari zaman Majapahit hingga kini masyarakat masih membatik. Cara masyarakat Bakaran membatik ternyata mengajarkan tentang kearifan lokal.
“Objek-objek kebudayaan yang dijadikan simbol dari zaman Majapahit tapi begitu estetis saat divisualisasikan dalam selembar kain batik, dan ini membuat saya jatuh cinta terhadap batik.
Menurut Fonna, dirinya menginginkan Sukabumi, terlebih ke objek-objek kebudayaan dan semua kearifan lokalnya itu ada di motif batik sehingga budaya menjadi lestari. Dirinya ingin melalui batik Sukabumi ini yang mengandung unsur kearifan lokal, sehingga anak-anak muda itu bisa terinspirasi.
Fonna berharap dampak sosial dari batik ini bisa mengembalikan dan menyadarkan aset kearifan lokal bahwa dari selembar batik bisa menjabarkan berbagai objek kebudayaan yang bisa menginspirasi individu-individu dengan berbagai passion. Jadi, katanya, budaya-budaya di Sukabumi bisa divisualisasikan melalui batik.
Sebenarnya, lanjut Fonna, Batik di Sukabumi tidak terdokumentasi. Hanya saja, cikal bakal membatik di Sukabumi terekam dalam satu buku “Ragam Hias Indonesia” yang merupakan buku tiga bahasa yakni Belanda, Inggris, dan Indonesia yang masih ditulis dalam ejaan lama. Dalam buku itu disebutkan bahwa tehnik rintang warna yang pertama itu ada di Surade, Jampang, Kabupaten Sukabumi.
Tetapi tehnik rintang warna ini tidak menggunakan lilin malam, melainkan memakai ketan. Karena tehnik rintang warna di Sukabumi ini tidak berkelanjutan, akhirnya tenggelam, kalah dengan daerah lain seperti misalnya Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon.
“Saya juga memulai sesuatu yang baru ya, baru lagi nih. Memang sulit, karena kebudayaan membatik itu tidak ada sebelumnya di Sukabumi. Jadi saya perlu melatih SDM-SDM untuk membatik dari nol.
“Kalau misalnya orang Cirebon atau Pekalongan , mereka tentu sudah memiliki tradisi mebatik sejak usia dini, bahkan sejak kecil sekali mereka sudah mengenal canting, begitu lahir juga udah pegang canting.
“Mungkin apa yang saya rintis dengan adanya kerjasama LPS dengan Batik Fractal, SDM-SDM disini lebih meningkat lagi kapasitasnya, akan banyak yang lebih tertarik lagi untuk membatik. Bahkan, anak-anak muda Sukabumi sudah mulai tertarik untuk membatik. Alhamdulillah yang muda-muda masih minat membatik,” tutur Fonna.