BeritaPerbankan – Rencana memasukkan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 menuai perhatian luas. Jika dilaksanakan, ini akan menjadi kali ketiga pemerintah mengadakan program pengampunan pajak dalam kurun waktu yang relatif berdekatan.
Program Tax Amnesty Jilid III ini mendapat kritik dari kalangan ekonom, terutama karena bersamaan dengan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
“Walaupun keduanya berbeda, karena sama-sama terkait pajak dan menyasar kelompok masyarakat dengan strata pendapatan yang berbeda, akhirnya terlihat saling terkait dan dinilai menguntungkan satu pihak, sehingga terkesan tidak adil,” ujar Wahyu Widodo, Ekonom Universitas Diponegoro, Rabu (20/11/2024).
Menurut Wahyu, program pengampunan pajak lebih banyak dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan pendapatan tinggi, seperti konglomerat dan individu super kaya. Sebagai contoh, pada Tax Amnesty Jilid II tahun 2022, sebanyak 11 orang dengan kekayaan di atas Rp 1 triliun mendapatkan pengampunan pajak.
Sebaliknya, PPN berlaku untuk semua lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah dan bawah, sehingga muncul kritik di media sosial bahwa rakyat kecil terbebani oleh PPN sementara orang kaya mendapatkan keringanan. “Ketidakadilan ini bisa menjadi isu besar jika terus diekskalasi,” tambahnya.
Kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah bawah saat ini juga sedang tertekan, terutama akibat daya beli yang tidak mampu mengejar laju inflasi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terus melemah selama tiga kuartal terakhir. Pada kuartal III-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91%, lebih rendah dibandingkan kuartal II-2024 (4,93%) dan kuartal I-2024 (4,91%).
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53,08% terhadap PDB, menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi. Namun, penurunan ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada kuartal III-2024 hanya mencapai 4,95%, lebih rendah dari kuartal sebelumnya.
Guru Besar Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, menyebut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat analisis terkait melemahnya daya beli masyarakat. Ia khawatir kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025, sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), akan semakin menekan daya beli dan melemahkan konsumsi rumah tangga.
“Pemerintah perlu berhati-hati dengan kebijakan ini karena dampaknya bisa memperburuk tekanan daya beli masyarakat ke depan,” ungkap Telisa. Di sisi lain, Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, mengakui bahwa usulan memasukkan revisi UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty ke dalam Prolegnas 2025 bersifat mendadak. “Tiba-tiba Badan Legislasi (Baleg) memasukkan usulan ini ke dalam daftar panjang Prolegnas,” ujarnya pada Selasa (19/11/2024).
Menurut Misbakhun, Komisi XI baru mengetahui usulan ini saat sedang rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (18/11/2024). Mengetahui hal tersebut, Komisi XI mengambil inisiatif untuk menjadi pengusul revisi UU Tax Amnesty, mengingat pengalaman sebelumnya dalam membahas program pengampunan pajak bersama pemerintah. “Sebagai mitra Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, Komisi XI merasa lebih tepat untuk mengusulkan hal ini menjadi prioritas pada 2025,” pungkas Misbakhun.