BeritaPerbankan – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mempertanyakan alasan di balik rencana pengenaan bea masuk tambahan hingga 200 persen.
Ia menjelaskan bahwa sejak 2015, Indonesia telah menjadi bagian dari ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), yang menyebabkan banjirnya produk-produk China ke Indonesia selama hampir dua dekade terakhir. Sebagian besar produk tersebut dikenakan tarif yang sangat rendah, bahkan hampir mencapai 0 persen.
“Kenapa 200 persen? ini jelas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang sudah diberlakukan selama ini yang hampir 0 persen tersebut,” tanya Faisal. Faisal menilai bahwa rencana ini adalah langkah drastis dengan konsekuensi yang harus dihadapi oleh Indonesia.
Ia memperingatkan bahwa kemungkinan besar China akan melakukan retaliasi, seperti yang mereka lakukan terhadap Uni Eropa dengan mengenakan tarif untuk produk EV yang diekspor ke Eropa.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan durasi pengenaan bea masuk tarif 200 persen ini terhadap barang China. “Apakah sementara atau permanen? Jangan sampai sementara dan tidak ada langkah lanjutan setelah tarif 200 persen dicabut. Apa yang akan dilakukan selanjutnya?” tanyanya.
Faisal juga menekankan pentingnya menyelesaikan akar permasalahan secara menyeluruh, bukan hanya mengambil langkah sementara atau politis. Perlu ada pertimbangan matang terkait jenis produk yang akan dikenakan bea masuk tambahan 200 persen. Hal ini penting agar tidak salah sasaran yang artinya malah membuat masalah ke produk lain, yang memang Indonesia butuhkan melalui impor.