BeritaPerbankan – Pasar keuangan dunia dibuat geger dengan pemberitaan tentang perusahaan properti terbesar di China, Evergrande Group. Perusahaan real estate ini dikabarkan default karena tak sanggup membayar utang dengan jumlah yang fantastis yaitu US$ 300 miliar sekitar Rp 4.275 triliun.
Kabar ini sontak saja mengguncang dunia ekonomi. Raksasa properti China itu terancam bangkrut. Disebutkan bahwa jumlah utang Evergrande adalah utang perusahaan terbesar di dunia sepanjang sejarah peradaban manusia.
Perusahaan yang berdiri pada tahun 1996 di Guangzhou, China itu rencananya akan membayar bunga utang senilai US$ 84 juta pada Kamis (23/9) kemarin.
Lantas apa penyebab perusahaan raksasa yang masuk dalam jajaran 2021 Fortune Global 500 List tersebut ada di jurang kehancuran seperti sekarang? Apa dampaknya bagi perekonomian dunia dan Indonesia?
Profil Singkat Evergrande Group
Evergrande Group atau Evergrande Real Estate Group adalah sebuah perusahaan pengembang properti terbesar kedua di Tiongkok dalam hal penjualan, menjadikannya perusahaan terbesar ke-122 di dunia dalam hal pendapatan, menurut 2021 Fortune Global 500 List.
Evergrande didirkan pada tahun 1996 di Guangzhou, China. Kantor pusat Evergrande sendiri berada di kota Shenzhen, China. Perusahaan yang bergerak di bidang pengembang properti ini didirikan oleh Xu Jiayin. Pria 62 tahun itu tercatat memiliki kekayaan sebanyak 11 miliar US Dolar berdasarkan data Forbes tahun 2021.
Xu Jiayin atau dikenal juga sebagai Hui Ka Yan itu mendirikan Grup Real Estate Evergrande pada tahun 1996, setelah lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Wuhan, dan bekerja di pabrik besi dan baja selama beberapa tahun.
Hui Ka Yan dikenal pandai berinvestasi pada bidang properti sehingga perusahaannya mendapatkan dana sebesar US$722 juta saat Evergrande menawarkan saham pada tahun 2009.
Pada tahun 2018, Evergrande dinobatkan sebagai perusahaan real estate terbesar di dunia versi Brand Finance. Xu Jiayin memiliki saham mayoritas sebanyak 70%. Kekayaan Jiayin menembus US$11 miliar, menurut rilis majalah Forbes pada tahun 2021.
Jiayin masuk dalam daftar orang terkaya nomor 53 di dunia dan urutan ke 10 di China. Evergrande sempat menjadi perbincangan publik ketika membeli klub sepak bola di Guangzhou seharga US$15 juta. Namun pada tahun 2014, saham klub sepak bola tersebut dijual kepada Alibaba seharga US$192 juta.
Sebelum menjadi orang terkaya di China, Jiayin pernah menjadi pekerja kasar yang melatih dirinya untuk bekerja keras dan pantang menyerah. Terbukti, Jiayin kini menjelma menjadi miliarder dunia dengan kekayaan 11 miliar dolar AS.
Banyak kalangan menilai kesuksesan bisnis seorang Jiayin karena kedekatan dirinya dengan para pejabat dan partai komunis. Bahkan Jiayin menyebut kesuksesan dirinya berkat pendidikan komunis yang diperolehnya.
Pada tahun 2012, Jiayin tampil dalam pertemuan dengan Partai Komunis. Publik China dibuat heboh karena Jiayin saat itu memakai ikat pinggang termahal merek Hermes.
Namun pada minggu ke empat bulan September 2021, dunia dikejutkan dengan kabar kegagalan Evergrande membayar utang senilai Rp. 4.275 tirliun, yang merupakan utang perusahaan terbesar di dunia. Tingginya utang dan kesulitan likuiditas Evergrande membuat sahamnya anjlok lebih dari 80% sepanjang tahun ini.
Perusahaan yang memiliki 123,276 karyawan itu diketahui terlibat dalam 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di seluruh Cina. Tidak heran respon publik dunia begitu terkejut seklaigus was-was setelah Evergrande mengumumkan sedang terlilit utang jumbo senilai lebih dari Rp 4.250 triliun.
Dosa Besar Evergrande Biang Kerok Default dan Bangkrut
Pengamat ekonomi dan keuangan rupayanya tidak terlalu terkejut dengan kekacauan keuangan perusahaan Evergrande yang berdampak pada anjloknya pasar saham dunia. Indsutri keuangan diselimuti ketidakpastian akibat Evergrande gagal bayar utang senilai lebih dari Rp 4.250 triliun, yang mana merupakan jumlah utang korporasi terbesar di dunai sepanjang sejarah.
Pada hari kamis (23/9) Evergrande diketahui baru membayar bunga utang sebanyak US$ 85 juta. Namun langkah tersebut tidak juga membuat pemberitaan gagal bayar utang Evergrande mereda.
Kepala Divisi Pendapatan Tetap (Fixed Income) Matthews International Capital Management, LLC (Matthew Asia), Teresa Kong mengatakan China Evergrande diduga telah melakukan dua dosa besar kepada investornya yang berakibat krisis utang.
Utang Jumbo China Evergrande
Evergrande memecahan rekor sebagai perusahaan dengan jumlah utang terbesar di dunia. Evergrande terlilit utang hingga US$ 305 miliar dalam empat tahun terakhir. Besarnya utang Evergrande sudah sejak tahun 2018 memunculkan kekhawatiran timbulnya potensi default atau bahkan berujung bangkrut.
Ambisi pemilik Evergrande, Hui Ka Yan pada akhirnya membuat raksasa properti China ini di ambang kehancuran, setelah jatuh tempo pembayaran utang pada kamis pekan lalu. Evergrande harus membayar bunga obligasi pada pekan lalu, sebesar US$ 83,5 juta atau lebih Rp 1,2 triliun dan pembayaran bunga surat utang senlai US$ 47,5 juta atau sekitar Rp 676 miliar.
China Evergrande terancam gagal bayar (default) jika tidak sanggup melunasi utang-utang tersebut dalam tempo 30 hari ke depan sejak jatuh tempo.
Lembaga pemeringkat kredit yaitu Fitch dan Moody’s bahkan memprediksi Evergrande akan default Fitch dan Moody’s juga menurunkan peringkat kredit Evergrande akibat kesulitan dalam likuidasi.
Kekacauan finansial Evergrande berakibat pada jatuhnya harga saham Evergrande di Hongkong hingga 80%. Perdagangan obligasi Evergrand ejuga terpkasa dihentikan Bursa Efek Shanghai setelah anjlok sebanyak 30%.
Hui Ka Yan ‘Si Raja Utang’
Pernah dinobatkan oleh Forbes seabagi orang terkaya ketiga di China pada maret 2020, namun Hui Ka Yan harus rela turun peringkat pada tahun 2021 di posisi ke 10 sebagai orang terkaya di China.
Empat tahun terkahir ini Evergrande mencatatkan peningkatan jumlah utang yang signifikan. Oleh sebab itu Hui Ka Yan sang pemilik perusahaan pengembang terbesar di China itu, dijuluki ‘raja utang Tiongkok’. Bahkan jumlah utang Evergrande hingga hari ini tercatat sebesar Rp. 4.250 triliun, memecahkan rekokr sebagai utang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia.
Utang yang menggunung sementara likuiditas perusahan yang seret menimbukan kekhawatiran berbagai pihak perusahaan akan default atau gagal bayar utang.
Evergrande mendapatkan reputasi buruk akibat menggelembungnya utang perusahaan untuk membiayai berbagai kegiatan usaha perusahaan.
Direktur Unit Intelijen Ekonomi China Mattie Bekink mengatakan, Evergrande telah menyimpang jauh dari bisnis utamanya. Ia menyebut ambisi agresif perusahaan membawa petaka dan kehancuran bagi Evergrande yang berpotensi mengacaukan industri keuangan global.
Kebijakan pemerintah China untuk memperketat peraturan pengendalian utang korporasi membuat sejumlah perusahaan gagal bayar di tahun 2020. Kepala Ekonom Asia Capital Economics, Mark Williams mengatakan industri properti di China sedang mengalami tren penurunan berkelanjutan. Oleh sebab itu diduga Evergrande mengalami penurunan pendapatan sehingga tidak sanggup membayar utang. Sementara likuidasi aset perusahaan juga sulit dilakukan.
Diskon Gede-Gedean Evergrande
Guna menyiasati kebijakan pembatasan utang, Evergande memberikan diskon besar-besaran. Pemasukan tersebut digunakan untuk biaya operasional perusahaan. Strategi ini berhasil menarik 1,5 juta konsumen yang mau memberikan uang muka (DP) untuk proyek properti Evergrande.
Dan kini jutaan konsumen cemas uang mereka tak bisa kembali setelah hebohnya pemberitaan soal gagal bayar utang Evergrande hingga potensi kebangkrutan.
Pemasok material bangunan proyek Evergrande juga tak kalah cemas. Mereka ingin Evergrande segera melunasi utang kepada pemasok.
Diskon besar-besaran Evergrande nyatanya tak juga mampu menghentikan penurunan laba 29% pada semester pertama tahun 2021. Evergrande justru menyalahkan awak media yang mengeluarkan pemberitaan bernada negatif terhadap korporasinya yang mengakibatkan penurunan kepercayaan konsumen.
Para Investor Keluhkan Nasib Mereka
Fakta bahwa Evergande tengah terlilit utang jumbo membuat para investor dilanda kecemasan. Evergrande berusaha menenagkan investor di Bursa Efek Shenzhen dengan mengatakan bahwa mereka telah menyelesaikan pembayaran obligasi yuan domestik melalui jalur negosiasi. Jumlah bunga yang terutang pada obligasi adalah sekitar 232 juta yuan atau sekitar US$ 36 juta, menurut data dari Refinitiv.
Hui meyakinkan investor bahwa dana mereka aman dengan komitmen terus melanjutkan sejumlah proyek Evergrande, menggenjot kegiatan kontruksi agar pesanan properti dapat selesai sesuai rencana.
Upaya penyelamatan krisis gagal bayar perusahaan-perusahaan besar dilakukan bank sentral China, People’s Bank of China (PBoC) yang menyuntikan dana Rp 198 triliun ke dalam sistem perbankan pada Rabu (22/9).
Paul Christopher, kepala strategi pasar global di Wells Fargo Investment Institute mengungkapkan, perlu waktu beberapa minggu bagi investor untuk mengetahui kejelasan nasib mereka soal krisis Evergrande.
Sektor Properti Mesin Perekonomian Tiongkok
Penjualan real estate menyumbang lebih dari 29% bagi perekonomian China, sehingga runtuhnya raksasa real estate Evergrande akan menjadi pukulan mematikan bagi industri properti Tiingkok dan perekonomian domestik secara keseluruhan dan mempengaruhi pasar keuangan global, mengingat proyek konstruksi Evergrande yang tersebar di banyak negara.
Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economics menyebut apa yang terjadi pada Evergrande sekarang ,merupakan ujian terbesar sistem keuangan China.
Kepala ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan potensi default Evergrande akan berimbas pada stabilitas perekonomian dan keuangan Tiongkok
Buruknya Tata Kelola Perusahaan Evergrande
Mengutip dari CNBC Indonesia, menurut data Refinitiv Eikon, Evergrande memiliki enam obligasi yang jatuh tempo tahun depan dan 10 obligasi jatuh tempo pada 2023, dari total 24 obligasi yang telah diterbitkan.
Teresa Kong dalam keterangnnya mengatakan Evergrande ibarat memiliki hutan yang benar-benar kering dengan bahan yang mudah terbakar.
Evergrande mengakui bahwa angka penjualan akan terus mengalami penurunan yang buruk. Hal itu akan memperburuk arus kas perusahaan. Resiko gagal bayar berpotensi meluas ke berbagai sektor.
Hui mengklaim sedang berjuang mengumpulkan dana, menjual berbagai aset namun belum menghasilkan penjualan yang diharapkan.
Evergrande menawarkan sejumlah properti kepada investor sebagai ganti pembayaran utang namun ditolak mentah-mentah oleh para investor. Merkea hanya ingin kepastian uang mereka kembali.
Menurut situs laman perusahaan, Evergrande memiliki lebih dari 1.300 proyek real estate di lebih dari 280 kota di Tiongkok. Investor asing jadi pihak paling cemas, karena Pemerintah Tiongkok dipastikan akan memprioritaskan pembeli rumah untuk mengamankan stabilitas perekonomian negaranya.
Setelah memperoleh dana likuiditas, pengembang harus menyelesaikan pembangunan hunian bagi para konsumen yang sudah membayar uang muka.