BeritaPerbankan – Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia, pada 2021 saham bank digital mencatat lonjakan signifikan, berkisar 79 persen hingga 4.368 persen. Namun, per Desember 2022, mayoritas saham bank digital mencatat rapor merah. Saham-saham bank digital sejak awal tahun kompak mengalami penurunan berkisar -6,27 persen hingga -76 persen. Sebanyak 5 dari 7 bank bahkan mencatat penurunan lebih dari 50 persen secara year to date.
Analis Samuel Sekuritas Farras Farhan menilai penurunan kinerja saham bank digital tahun ini merupakan bagian dari dinamika pasar yang bergerak cepat. Kondisi pasar pada 2020-2021 dan 2022 menurutnya sangat kontras.
Pada 2020 atau tahun pertama pandemi Covid-19 berlangsung, laju perekonomian mengalami kontraksi akibat kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Sekadar mengingatkan, di akhir 2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun -2,1 persen.
Di saat mobilitas masyarakat dibatasi, berbagai kegiatan masih tetap berlangsung berkait teknologi, mulai dari kegiatan pendidikan, perkantoran, hingga belanja dapat difasilitasi dengan teknologi.
Tidak mengherankan bila akhirnya sektor teknologi mencuat dan dianggap sebagai sektor yang mampu menjembatani kegiatan ekonomi selama masa pandemi.
“Kita harus flashback untuk memahami mengapa sektor teknologi tahun 2020 hingga 2021 booming. Selain adaptasi teknologi yang kuat selama pandemi, faktor kebijakan stimulus moneter juga berpengaruh terhadap saham-saham teknologi,” jelasnya.
“Kondisi ekonomi yang tertekan membuat saham-saham Old Economy dihindari. Investor pun akhirnya berlomba-lomba masuk ke perusahaan yang terkait teknologi seperti bank digital. Harga sahamnya pun booming, bahkan di saat bank-bank tersebut belum memiliki produk aplikasinya,” jelasnya.
Menurut Tirta, memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Namun, sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan tersebut sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.
Akibatnya, kenaikan inflasi tidak terhindarkan dan semakin tidak terkendali setelah pada Februari 2022, Rusia melancarkan aksi militer ke Ukraina. Mudah diduga, perang tersebut telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.
“Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas,” jelas Tirta.