BeritaPerbankan – Ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengingatkan pemerintah untuk mulai menerapkan pajak keuntungan windfall (windfall profit tax).
Menurutnya, keuntungan besar dari kenaikan harga komoditas pasca-pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha, sementara rakyat hanya terbebani inflasi tinggi.
Pemerintah juga mulai merasakan dampak dari penurunan penerimaan pajak seiring dengan normalisasi harga komoditas, yang menyebabkan defisit keuangan negara karena tidak mendapat pendapatan signifikan saat ada lonjakan harga komoditas.
Faisal mencatat bahwa pada 2022, industri batu bara misalnya, memperoleh keuntungan ekspor sebesar Rp 1.000 triliun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara pada 2022 mencapai US$ 46,76 miliar, naik dari US$ 26,53 miliar pada 2021, dan US$ 14,53 miliar pada 2020.
“Sebenarnya, keuntungan windfall masih ada di komoditas. Pada 2022, penerimaan ekspor dari keluarga besar batu bara HS 27 mencapai Rp 1.000 triliun. Jika dikenakan windfall tax, Indonesia bisa mendapatkan Rp 250 triliun,” tegas Faisal.
Ia menekankan pentingnya pemerintah menerapkan Windfall Profit Tax karena sumber daya alam adalah milik negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang. Pun keuntungan dari pajak ini dapat digunakan untuk masyarakat yang tertekan oleh inflasi tinggi dan daya beli yang menurun.
Faisal juga berpendapat bahwa daripada menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), lebih baik menerapkan Windfall Profit Tax. Menurutnya, jika PPN dinaikkan, rakyat akan semakin terbebani karena harga kebutuhan pokok yang sudah tinggi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan banyaknya impor bahan pangan.
Keuntungan dari windfall profit bisa menjadi kompensasi bagi mereka yang dirugikan, sehingga daya beli masyarakat tetap stabil meski ada tekanan harga akibat perang Ukraina dan ketergantungan impor pangan. Apabila dibandingkan, kenaikan PPN hanya akan menambah penerimaan negara sebesar Rp 50 triliun, sementara dari windfall profit bisa diperoleh hingga Rp 250 triliun.
Selain itu, data menunjukkan daya beli masyarakat yang turun ditandai dengan deflasi dua bulan beruntun dan penerimaan pajak yang menurun. Hingga 30 Juni 2024, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 893,8 triliun, turun 7,9% dari Rp 970,2 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penurunan penerimaan pajak disebabkan oleh penurunan harga komoditas, yang berdampak pada setoran Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
“Dari sisi pajak Rp 893,8 triliun, terutama karena penurunan penerimaan dari komoditas seperti CPO, Batu Bara, dan lainnya,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Ia menekankan bahwa penurunan pajak terutama disebabkan oleh penurunan profitabilitas perusahaan akibat moderasi harga komoditas pada 2023. “Perusahaan masih untung, tetapi tidak setinggi tahun sebelumnya karena harga komoditas turun, sehingga pembayaran PPh Badan juga turun,” tutup Sri Mulyani.