BeritaPerbankan – Pertumbuhan kredit perbankan terus mengalami peningkatan pesat meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2024, kredit perbankan tumbuh sebesar 10,85% secara tahunan (yoy), mencapai Rp7.579 triliun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya sebesar 4,95% yoy.
Peningkatan kredit lebih banyak didorong oleh segmen korporasi, yang diharapkan dapat mendukung konsumsi rumah tangga. Namun, masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini justru menghadapi penurunan daya beli, mengandalkan tabungan, dan mengalami penurunan kelas ekonomi.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit tidak selalu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Ia mengingatkan bahwa pada masa lalu, kredit pernah tumbuh hingga 25%, tetapi pertumbuhan ekonomi tetap di bawah 6%.
Menurut Piter, salah satu faktor utama adalah tingkat efisiensi ekonomi yang diukur melalui incremental capital output ratio (ICOR) dimana kredit yang tinggi memang menandakan investasi meningkat, namun sebaliknya jika ICOR tinggi, maka pertumbuhan ekonomi tetap rendah. Tak lupa, kesenjangan ekonomi yang besar menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat miskin.
Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto, menyatakan bahwa sektor perbankan saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sektor lain, seperti pasar modal, juga memiliki peran penting dalam menyokong ekonomi agregat.
Ia menambahkan bahwa penyaluran kredit korporasi umumnya didominasi oleh bank milik negara (himbara) yang mendukung Proyek Strategis Nasional. Namun, sektor UMKM mengalami tekanan karena daya beli masyarakat yang melemah, sehingga pertumbuhan kredit di sektor ini melandai, disertai peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL).
Ryan menyarankan agar penyaluran kredit ke UMKM lebih berhati-hati ke depannya, mengingat pemulihan ekonomi kelas menengah kemungkinan masih membutuhkan waktu. Ia juga menyoroti pentingnya menjaga kesinambungan kredit korporasi untuk mendukung program pemerintah.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai pertumbuhan kredit saat ini sebagian didorong oleh insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) dari Bank Indonesia (BI). Namun, insentif ini cenderung mengalir ke sektor padat modal, sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi belum dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Mulai 1 Januari 2025, BI berencana mengarahkan kebijakan KLM ke sektor padat karya untuk meningkatkan dampak terhadap perekonomian. Insentif KLM sendiri memungkinkan pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga 4% bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas yang dianggap memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi.