BeritaPerbankan – Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan banyak masyarakat yang kesulitan membayar cicilan, terutama untuk kendaraan bermotor. Rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) di industri multifinance meningkat tahun ini, bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.
Data OJK per April 2024 merilis rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan dan 38 bps dibandingkan Desember 2023. Sementara untuk NPF net per April 2024 juga naik 20 bps menjadi 0,89%, dan 25 bps dibandingkan Desember 2023.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil baru dari Januari hingga April menurun 14,8% yoy menjadi 289.551 unit. Senada dengan itu data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia menunjukkan penjualan motor baru pada periode yang sama turun 1,11% yoy menjadi 2.154.226 unit.
Dalam pengajuan kredit kendaraan baru-baru ini, Lembaga pembiayaan atau leasing mengakui adanya pengetatan. “Pengetatan ini karena adanya seleksi alam. Kami juga melakukan edukasi, masyarakat ingin membeli kendaraan tetapi apakah mereka mampu? Kami mendengar dan membaca tentang penurunan daya beli, kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras dan gula. Ini akan menjadi pertimbangan kami dalam menilai apakah seseorang mampu membayar cicilan atau tidak,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno.
Faktor lain adalah banyak masyarakat yang belum sadar akan kewajiban mereka dan cenderung menghindari pembayaran. Sebelum adanya Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau lebih dikenal sebagai BI Checking, seseorang bisa dengan mudah mengajukan pinjaman ke beberapa leasing meskipun bermasalah. Namun, setelah SLIK berlaku, rekam jejak pinjaman akan terlihat.
“Jika sekarang tercatat sebagai konsumen yang melarikan diri dari kredit motor atau mobil dan menghindari debt collector, kendaraan mereka sering kali tidak dapat ditemukan. Seperti kasus di Palembang, kendaraan bisa berpindah tangan tanpa sepengetahuan leasing,” ujar Suwandi.
Pada akhirnya, debitur yang rugi karena tidak bisa lagi mengajukan pinjaman. Leasing juga mengalami kerugian, tetapi sekali terjadi, itu cukup untuk memblokir debitur dari akses pinjaman di masa depan. Risikonya saat debitur masih produktif dan ingin mengambil KPR, pasti akan ditolak, bukan hanya oleh perusahaan yang pernah bersangkutan.
Jadi, sebagai pembelajaran, masyarakat harus tahu jika berani berutang, bayar utangnya. Cicilan harus dibayar. Jika tidak mampu membayar utang, jangan lari, bahkan jangan menjual kendaraan yang belum lunas, karena BPKB masih di tangan leasing dengan dalih STNK atas nama mereka,” tambah Suwandi.
“Masyarakat kita berpikir membeli murah, tetapi yang membeli jadi penadah secara hukum pidana karena membeli tidak secara sah. Yang menjual, debitur, terkena pidana mengalihkan barang yang belum lunas. Rata-rata orang yang macet kredit menipu sekali perusahaan keuangan tetapi tidak bisa lagi mendapatkan pinjaman seumur hidup,” kata Suwandi.