BeritaPerbankan – Indonesia masih menggunakan standar internasional yang lama dalam menentukan kelompok masyarakat yang tergolong miskin ekstrem.
Standar internasional ini mengacu pada ketentuan Bank Dunia, yang telah menetapkan garis kemiskinan terbaru sebesar US$ 3,2 per kapita per hari, naik dari US$ 1,9 sebelumnya. Standar ini telah diadopsi sejak 2022 menggunakan angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017, menggantikan PPP 2011. Namun, hingga saat ini, Indonesia masih menggunakan ukuran lama sebesar US$ 1,9.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa penggunaan standar lama untuk kemiskinan ekstrem di Indonesia bertujuan untuk menjaga konsistensi perbandingan jumlah orang miskin dari waktu ke waktu.
“Kami masih menggunakan standar US$ 1,9 agar perbandingan dengan data sebelumnya tetap konsisten secara historis,” kata Amalia saat ditemui di Kantor Pusat BPS, Jakarta, pada Jumat (30/8/2024). Amalia juga menyebutkan bahwa BPS belum berencana untuk mengubah metodologi pengukuran kemiskinan ekstrem sesuai dengan standar baru Bank Dunia.
Sebagai informasi, belum adanya penyesuaian ukuran kemiskinan ekstrem di Indonesia telah menjadi perhatian khusus dari anggota Komisi XI DPR. Mereka mengkritisi penggunaan standar lama pemerintah setelah Amalia memaparkan bahwa jumlah orang miskin ekstrem di Indonesia per Maret 2024 hanya sebesar 0,83% dari total penduduk, turun dari 1,12% pada Maret 2023.
“Bagaimana jika dibandingkan dengan standar baru? Bisa jadi kita semua berada dalam kategori ini, bukan kelas atas,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, saat rapat kerja terkait RAPBN 2025.