BeritaPerbankan – Fenomena anak muda beramai-ramai masuk dunia investasi diwarnai oleh tren flexing di kalangan muda-mudi, yang banyak ditampilkan di media sosial. Hal itu turut menjadi perhatian Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa.
Menurut Purbaya secara umum investor dari kalangan anak-anak muda memiliki kecenderungan ingin cepat untung dalam berinvestasi untuk memenuhi gaya hidup flexing yang bisa ditampilkan di social media.
Jenis investasi berisiko tinggi pun berani dipilih oleh investor-investor baru dengan harapan imbal hasil yang besar dan cepat. Namun celakanya, keberanian itu tidak diimbangi dengan kesadaran memahami risiko dari setiap produk investasi yang dibeli.
Dengan kata lain, banyak investor muda yang terjun ke dunia investasi bermodalkan uang dan keberanian namun literasi keuangan masih relatif rendah.
“Generasi muda cenderung tergiur dengan investasi yang berisiko tinggi. Risikonya tidak dipelajari sama sekali, makanya flexing laku,” ujar Purbaya di Jakarta, Jumat, 19 Agustus.
Tren Flexing di kalangan anak muda tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi digital khususnya media sosial. Aksi pamer kekayaan menjadi konten yang laris manis di berbagai platform media sosial.
Purbaya menilai aksi flexing justru menandakan ada ketimpangan antara inklusi keuangan yang menunjukan grafik peningkatan, sementara indeks literasi keuangan masih relatif rendah sehingga tidak sedikit anak muda yang baru memperoleh keuntungan dari hasil investasi justru menghabiskan uangnya untuk flexing agar nampak sukses di depan banyak orang alih-alih memutar kembali uangnya untuk investasi atau ditabung.
Begitu pun dengan anak-anak muda yang akhirnya tergiur mengikuti apa yang dilakukan para influencer yang tampil meyakinkan dengan barang-barang branded yang melekat, yang konon katanya, adalah hasil dari investasi tertentu.
Dengan tingkat pemahaman yang rendah soal produk-produk investasi dan risiko investasi, hal itu berpotensi membuat investor muda merugi atau bahkan kena tipu.
Tren flexing di media sosial harus ditandingi dengan meningkatkan literasi keuangan melalui media digital yang merupakan taman bermain bagi anak-anak muda. Sehingga pesan literasi keuangan dapat tersampaikan dengan efektif dan efisien.
Purbaya menambahkan media sosial memiliki pengaruh besar terhadap keputusan generasi muda dalam berinvestasi. Banyak dari generasi milenial mencari referensi produk investasi dari media sosial.
Pentingnya Literasi Keuangan
Purbaya menjelaskan bahwa literasi keuangan di kalangan anak muda harus terus ditingkatkan untuk mendukung iklim investasi yang sehat. Dengan begitu investasi dapat memberikan imbal hasil yang tinggi sehingga gap ketimpangan ekonomi mampu ditekan.
Lebih jauh lagi, literasi keuangan akan mendorong seseorang untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan. Orang yang paham literasi keuangan pasti akan berusaha untuk memiliki tabungan, dana darurat, investasi dan produk asuransi seperti asuransi kesehatan, tabungan pendidikan anak dan lain sebagainya.
“Kalau kita makin pintar (soal keuangan), maka akan sering menabung,” ujar Purbaya.
Indeks Inklusi Keuangan vs Literasi Keuangan
Purbaya mengatakan tingkat literasi keuangan berbanding terbalik dengan indeks inklusi keuangan yang terus menunjukan tren kenaikan.
Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019 disebutkan bahwa indeks inklusi keuangan nasional tercatat sebesar 76,19 persen, sedangkan tingkat literasi keuangan hanya 38,03 persen.
“Inklusi dan literasi keuangan semakin meningkat namun terdapat gap antara inklusi dan literasi. Selain itu terdapat gap inklusi dan literasi antar wilayah di Indonesia,” ujarnya.
Dibandingkan dengan data sejak tahun 2013 hingga 2019 menunjukan indeks literasi keuangan nasional mengalami peningkatan meskipun cenderung lambat.
Indeks literasi keuangan pada tahun 2013 sebesar 21,84 pesen dengan indeks inklusi keuangan sebesar 59,74 persen, dengan gap sebesar 37,9 persen.
Pada tahun 2016 indeks literasi keuangan meningkat menjadi 29,70 persen dengan kenaikan inklusi keuangan menjadi 67,80 persen. Namun jarak keduanya justru semakin melebar yaitu 38,1 persen.
Data terbaru pada tahun 2019 indeks inklusi keuangan tercatat 76,13 persen dengan indeks literasi keuangan sebesar 38,03 persen. Terdapat gap sebanyak 38,1 persen.
“Memang mengalami peningkatan tapi tidak banyak,” ujarnya.
Terakhir Purbaya menjelaskan bahwa literasi keuangan masih didominasi oleh pemahaman masyarakat tentang produk dan jasa keuangan perbankan.
“Inklusi dan literasi keuangan masyarakat masih lebih didominasi oleh akses dan pengetahuan terhadap jenis jasa keuangan perbankan,” imbuhnya.