BeritaPerbankan – Normalisasi kebijakan moneter di sejumlah negara mendorong kenaikan cost of fund perbankan sehingga menyebabkan ruang penurunan suku bunga bank semakin sempit.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa. Dalam keterangan resminya, Purbaya mengatakan elemen yang mempengaruhi besaran tingkat bunga penjaminan (TBP) LPS diantaranya cost of fund perbankan dan tingkat bunga kredit.
Meskipun saat ini LPS masih belum mengubah besaran TBP, namun dalam merumuskan kebijakan LPS akan tetap mempertimbangkan berbagai faktor dan dinamika keuangan global maupun domestik serta koordinasi dengan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan OJK.
Saat ini TBP yang masih berlaku hingga 30 September 2022 yaitu 3,50 persen untuk simpanan rupiah di bank umum, 0,25 persen simpanan dalam mata uang asing dan 6,00 persen untuk simpanan di BPR/BPRS.
Purbaya menjelaskan saat ini sejumlah negara, salah satunya Amerika Serikat, sedang menghadapi ancaman krisis ekonomi, sehingga kebijakan moneter pengetatan likuiditas dalam negeri mereka berperan mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan ke level yang lebih baik.
Kebijakan tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) diharapkan dapat menekan laju inflasi yang nyaris membuat negeri Paman Sam itu resesi.
Meski begitu Purbaya meyakini gejolak yang terjadi di Amerika maupun belahan dunia lain tidak akan berdampak terlalu besar seperti yang dikhawatirkan selama ini.
“Di Amerika Serikat saat ini hampir resesi, diperkirakan tapering yang dilakukan bank sentral mereka juga hampir berakhir. Jadi kami melihat ujung dari tapering tersebut sudah sedikit terlihat. Pengetatan lebih lanjut tidak akan terlalu signifikan. Artinya kendala global, dalam hal ini dampak negatif dari pengetatan kebijakan moneter di AS, yang kita hadapi akan tidak akan sebesar seperti yang diperkirakan sebelumnya,” jelasnya.
Menurut Purbaya kondisi likuiditas dalam sistem keuangan Indonesia cukup siap menghadapi dampak negatif kondisi global seperti kebijakan tapering off The Fed.
Hal itu terlihat dari Rasio Alat Likuid atau Non-Core Deposit (AL/NCD) yang berada di level 133,4% dari ambang batas minimal 50%, sementara itu Alat Likuid/DPK (AL/DPK) pada Juni 2022 ada di level 29,9% melampaui threshold 10 %.
Keadaan likuiditas dalam sistem finansial kita yang lebih dari cukup antara lain ditunjukkan juga oleh indikator lainnya, seperti likuiditas perbankan yang semakin longgar sehingga penyaluran kredit terus meningkat. Hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebab masyarakat sudah kembali melakukan kegiatan usaha dan belanja pasca pandemi covid-19 dua tahun terakhir ini.
Terakhir Purbaya menegaskan kondisi likuiditas nasional tidak semata-mata tergantung kondisi keuangan dan ekonomi global, sebab Indonesia mempunyai kemandirian dalam mengendalikan kondisi likuiditas perbankan nasional.
KSSK akan terus memantau kondisi domestik dan global untuk bahan pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan yang berdampak positif terhadap ketahanan likuiditas nasional.