BeritaPerbankan – Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah memperkuat peran dan mandat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Melalui UU ini, LPS tidak hanya berfokus pada penjaminan simpanan dan resolusi bank, tetapi juga diberi mandat baru untuk menyelenggarakan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) dan Program Penjaminan Polis (PPP), serta melakukan penempatan dana.
Program Penjaminan Polis (PPP)
Salah satu amanat utama dari UU P2SK adalah pelaksanaan Program Penjaminan Polis (PPP). LPS telah menyusun peta jalan yang dirancang untuk memastikan implementasi penuh program ini pada tahun 2028. Persiapan ini mencakup penguatan organisasi dan perubahan struktur internal LPS guna mengoptimalkan pelaksanaan mandat barunya.
Industri asuransi di Indonesia, yang terdiri dari 148 perusahaan, menunjukkan ketahanan yang baik dengan kecukupan modal yang jauh di atas batas minimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 120%. Rasio kecukupan modal (Risk-Based Capital/RBC) pada industri asuransi umum berada dalam kisaran 300%-400%, sedangkan pada asuransi jiwa mencapai 450%-500%.
Namun, terdapat perbedaan tren kinerja antara asuransi jiwa dan asuransi umum. Pada tahun 2023, industri asuransi jiwa mengalami penurunan total aset dan pendapatan premi, yang dipengaruhi oleh penurunan aset investasi di produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI). Sebaliknya, industri asuransi umum dan reasuransi menunjukkan tren peningkatan yang terus berlanjut setelah sempat terdampak pandemi COVID-19. Diharapkan, peningkatan ini akan terus berlanjut dengan implementasi PPP.
Kesiapan LPS dalam Program Restrukturisasi Perbankan (PRP)
Selain penjaminan polis, UU P2SK juga memperkuat peran LPS dalam menangani bank bermasalah melalui Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). LPS diberi wewenang untuk mengaktifkan PRP jika terjadi krisis sistem keuangan yang mengancam perekonomian nasional, dengan persetujuan Presiden.
Pada triwulan pertama tahun 2024, sebagai bagian dari persiapan PRP, LPS telah melaksanakan dua program kerja utama. Program ini berfokus pada persiapan infrastruktur yang diperlukan untuk penyelenggaraan PRP serta pengelolaan manajemen krisis. LPS juga menyusun peraturan turunan setelah ditetapkannya UU P2SK, seperti Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2023 yang mengatur besaran premi untuk pendanaan PRP.
Untuk memastikan efektivitas pelaksanaan PRP yang akan dimulai pada Januari 2025, LPS telah melakukan harmonisasi peraturan dengan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, LPS tengah menyelesaikan penyusunan peraturan teknis lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PRP secara menyeluruh.
Koordinasi dan Pengelolaan Krisis oleh LPS
Dalam upaya memastikan kesiapan menghadapi krisis, LPS secara rutin mengadakan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Pada triwulan pertama tahun 2024, LPS melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. FGD ini bertujuan untuk mendapatkan masukan terkait kebijakan dan mekanisme pelaksanaan kewenangan ekstra-yudisial dalam PRP, khususnya dalam pengelolaan aset sesuai Pasal 41 UU PPKSK.
Penguatan peran LPS diharapkan mampu meningkatkan stabilitas sistem keuangan Indonesia, menjaga kepercayaan publik, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.