BeritaPerbankan – Gelombang kritik terhadap rencana bea masuk 200% atas impor barang dari China datang dari pihak importir. Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Subandi, mempertanyakan tujuan sebenarnya dari pengenaan bea masuk tambahan ini.
Subandi menyarankan agar pemerintah melarang impor barang-barang dari China daripada menerapkan bea masuk tambahan hingga 200 persen jika tujuannya adalah untuk melindungi produk dalam negeri. “Ngapain harus dikenakan 200 persen? Larang aja sekalian,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pengenaan pajak yang tinggi bisa merangsang penyelundupan.
Subandi juga mengingatkan pemerintah agar tidak membuat pelaku usaha bingung dengan regulasi baru yang tidak pasti. Menurutnya, pemerintah seharusnya menciptakan kepastian dan ketenangan dalam berusaha.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyarankan bahwa bea masuk tambahan, seperti bea masuk anti-dumping (BMAD), dapat efektif jika didasarkan pada kajian yang kuat dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Jika tarifnya sesuai maka penerapan bea masuk tambahan bisa efektif. Namun jika terlalu rendah, justru menjadi tidak efektif.
Nailul menjelaskan bahwa pemerintah perlu meneliti tarif yang efektif agar produk dalam negeri dapat bersaing secara harga. “Apakah 50 atau 100 atau 200 persen? harus ada tahapan penuh kehati-hatian yang perlu dilakukan oleh pemerintah,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa kelebihan pasokan di pasar domestik China akibat turunnya permintaan domestik membuat pemerintah China memberikan subsidi bagi produk yang siap diekspor, sehingga harga produk tekstil dari China menjadi sangat murah. Pada tahun 2021, impor tekstil Indonesia dari China meningkat hingga 47 persen, menguasai pasar tekstil dalam negeri.
Selain itu, peraturan terbaru yang merelaksasi aturan impor menyebabkan barang impor masuk lebih mudah, membuat produsen dalam negeri harus bersaing dengan produk impor murah. Seperti diketahui bahwa harga yang terbentuk di dalam negeri juga meliputi biaya non-produksi seperti izin dan pungutan liar yang semakin membuat sekarat produsen.