BeritaPerbankan – Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Sugiono, mengumumkan bahwa Pemerintah Indonesia secara resmi telah mengajukan permohonan keanggotaan untuk bergabung dengan aliansi ekonomi BRICS. Hal ini disampaikan Menlu RI dalam pertemuan KTT BRICS Plus yang berlangsung di Kazan, Rusia, pada tanggal 22-24 Oktober 2024.
Aliansi BRICS pertama kali dibentuk pada tahun 2009 dengan inisiatif dari Rusia, dengan tujuan memperkuat kerja sama di antara negara anggotanya yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, BRICS telah memperluas keanggotaannya dengan memasukkan lima negara baru, yaitu Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir.
Ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS tidak hanya datang dari Indonesia. Malaysia dan Turkiye juga menyatakan minat serupa. Ekspansi ini menunjukkan bahwa BRICS semakin diakui sebagai aliansi ekonomi yang berpengaruh di dunia, terutama bagi negara-negara berkembang.
Keputusan pemerintah ingin bergabung dengan BRICS ditanggapi beragam oleh berbagai pihak, termasuk Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, yang menilai perlunya pertimbangan matang terkait dampak positif dan negatif dari keanggotaan Indonesia di BRICS.
Purbaya mengatakan bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS harus diambil dengan hati-hati. Menurutnya, ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam menentukan posisi Indonesia di antara kekuatan ekonomi global. Ia menekankan pentingnya memperhatikan keseimbangan dalam mengambil keputusan ini, terutama dalam konteks hubungan internasional Indonesia.
“Keputusan untuk bergabung tergantung pada pemerintah saat ini, namun saya pikir dampak positif dan negatifnya harus dihitung dengan cermat,” kata Purbaya di Jakarta pada 26 Oktober 2024.
Purbaya menambahkan, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah posisi Indonesia di antara kekuatan-kekuatan besar dunia. Menurutnya, hal ini penting untuk dicermati karena keputusan strategis ini akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
“Apakah kita akan bersikap non-blok seperti pada masa lalu, atau kita akan lebih condong ke timur atau barat? Ini adalah keputusan strategis yang akan berdampak signifikan bagi perekonomian kita,” ujarnya.
Di sisi lain, Menlu RI Sugiono menjelaskan bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS tidak hanya didasarkan pada kepentingan politik global, tetapi juga sejalan dengan program prioritas pemerintahan saat ini. BRICS, menurut Sugiono, memiliki fokus yang selaras dengan kebijakan pemerintah terkait ketahanan pangan, energi, pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia.
“BRICS menawarkan platform yang dapat mendukung prioritas nasional kita dalam berbagai sektor, termasuk ketahanan pangan dan energi, serta pengentasan kemiskinan,” kata Sugiono.
Sugiono menambahkan bahwa Indonesia melihat BRICS sebagai kendaraan yang tepat untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang, termasuk yang dikenal sebagai Global South. Ia menegaskan bahwa Indonesia akan tetap melanjutkan keterlibatan aktif dalam forum-forum internasional lainnya, termasuk dialog dengan negara-negara maju.
“Kami akan terus melanjutkan diskusi dengan negara-negara maju sambil memperkuat posisi kami di dalam BRICS,” ujarnya.
Pada KTT BRICS Plus, Sugiono juga menyampaikan pesan dari Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya anti-penjajahan dan penindasan. Dalam kesempatan tersebut, Sugiono mengungkapkan solidaritas Indonesia terhadap perdamaian global, khususnya terkait situasi di Palestina dan Lebanon. Ia menyerukan gencatan senjata dan penerapan hukum internasional dalam rangka pemulihan di Gaza, serta dukungan berkelanjutan untuk wilayah tersebut.
“Indonesia tidak bisa berdiam diri saat kekejaman terus berlangsung tanpa ada pihak yang bertanggung jawab,” tegas Sugiono.
BRICS memiliki tujuan utama untuk mengembangkan hubungan ekonomi yang lebih erat di antara anggotanya, serta meningkatkan pengaruh negara-negara berkembang di panggung internasional. Selain itu, aliansi ini bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan mengurangi dominasi negara-negara maju dalam perdagangan global dan kebijakan ekonomi internasional.
BRICS juga dikenal dengan inisiatifnya dalam menciptakan lembaga-lembaga keuangan alternatif, seperti New Development Bank (NDB), yang bertujuan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang, serta mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan global seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).