Beritaperbankan – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral akan mulai mengurangi likuiditas di perbankan mulai tahun depan. Hal itu dilakukan seiring dengan tugas BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan stabilitas di perbankan.
“Kami akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memastikan stabilitas di perbankan akan lebih, meskipun secara bertahap akan menguranginya sedikit-sedikit dan berhati-hati,” kata Perry dalam diskusi virtual, Kamis (2/12/2021).
Menurutnya, pengurangan likuiditas akan dilakukan secara berhati-hati untuk menjaga kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit dan pembelian surat berharga negara. Penyerapan likuiditas itu, dilakukan melalui kontraksi operasi moneter dan kenaikan Giro Wajib Minimum atau GWM.
Perry juga mengatakan dengan menyikapi ketidakpastian di global, kepentingan negeri ini memerlukan stabilitas dan karena itu kebijakan moneter akan lebih pro stabilitas dengan tetap bersama memulihkan ekonomi.
Sebelumnya, Gubernur BI mengatakan kondisi likuiditas sangat longgar didorong kebijakan moneter yang akomodatif dan dampak sinergi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional.
“Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sebesar Rp 137,24 triliun pada tahun 2021 hingga 16 November 2021,” kata Perry usai Rapat Dewan Gubernur BI, 18 November 2021.
Sebagai informasi sepanjang 2021 (hingga 16 November 2021), Bank Indonesia telah menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp137,24 triliun. Sehingga, injeksi likuiditas oleh bank sentral sejak 2020 sampai dengan 16 November 2021 telah mencapai Rp863,81 triliun.
Sepanjang 2021, jelasnya, Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBN di pasar perdana untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp143,32 triliun. Pembelian tersebut terdiri dari Rp67,87 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp75,46 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).
Dengan ekspansi moneter tersebut, kondisi likuiditas perbankan pada Oktober 2021 sangat longgar, tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 34,05 persen dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 9,44 persen (yoy).