BeritaPerbankan- Beberapa tahun belakangan, mendapatkan pinjaman dana tidaklah serumit dahulu. Sebab, pengajuan pinjaman dana tak melulu mengajukan pinjaman ke bank.
Saat ini, ada sarana yang lebih mudah, yaitu melalui financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending atau biasa disebut pinjaman online (pinjol). Keberadaan pinjol sudah dikenal dan menggiurkan bagi banyak orang.
Hal tersebut karena siapa pun bisa mendapatkan pinjaman online. Berbeda dengan pengajuan dana ke bank yang memiliki banyak persyaratan dan prosesnya lama, proses pada pinjol cenderung mudah dan cepat. Tak heran, sistem pinjaman tersebut semakin digandrungi masyarakat.
Sayangnya, di balik kemudahan yang ditawarkan, suku bunga yang diberikan pinjol sedikit lebih tinggi dibandingkan layanan kredit bank.
Pemberi layanan pinjol punya risiko menanggung kerugian akibat macetnya kredit nasabah. Ini merupakan alasan pertama mengapa bunga pinjol tinggi. Terlebih, sumber dana yang digunakan fintech lending berasal dari investor, baik dari perusahaan maupun perorangan.
Jika ternyata peminjam berbuat curang, nakal, terjadi gagal bayar, atau kredit macet, perusahaan fintech tersebut wajib menanggung kerugian.
Di sisi lain, perusahaan fintech juga masih memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana investasi pokok, termasuk membayar imbal hasil kepada investor. Karena itulah, wajar jika perusahaan fintech P2P lending mematok suku bunga yang lebih tinggi.
Secara umum, pinjol memberikan jangka waktu atau tenor pinjaman yang cukup singkat. Hal ini karena plafon pinjaman yang ditawarkan tidak sebesar pinjaman di bank konvensional. Jangka waktu pinjaman yang singkat tersebut membuat tingkat suku bunga jadi lebih tinggi dibandingkan pinjaman dengan jangka waktu panjang di bank konvensional.