BeritaPerbankan – Masyarakat kelas menengah di Indonesia terlihat enggan mengunjungi mal atau pusat perbelanjaan, yang menyebabkan penurunan jumlah kunjungan ke mal. Menariknya, hal ini tidak hanya disebabkan oleh daya beli yang menurun, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Budihardjo Iduansjah selaku Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), mengungkapkan bahwa penurunan kunjungan terutama terjadi di mal yang menyasar kelas menengah. Sedangkan mal kelas atas tidak mengalami penurunan signifikan.
“Kelas menengah biasanya hanya memiliki satu mobil. Sementara di mal seperti Plaza Indonesia tidak sepi, karena pengunjungnya tidak terpengaruh aturan tersebut. Jika hari ini mobil ganjil, mereka menggunakan mobil mewah ganjil, dan begitu sebaliknya,” kata Budihardjo pada Sabtu (21/9/2024).
Ia juga menjelaskan bahwa mal-mal seperti Grand Indonesia sepi pada hari biasa, namun ramai pada akhir pekan, karena pengunjungnya dari kalangan kelas menengah yang merasa terbatas oleh aturan ganjil genap. Budihardjo mengkhawatirkan jika kondisi ini terus berlanjut, hal ini bisa berdampak pada penjualan di toko-toko mal tersebut dan, pada akhirnya, mempengaruhi perekonomian Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, memprediksi bahwa pertumbuhan industri ritel modern dan mal pada tahun ini hanya akan mencapai angka satu digit. Ia menyebut bahwa kantong masyarakat semakin menipis, yang kemudian mengubah pola belanja mereka. “Uang yang dimiliki masyarakat semakin sedikit, sehingga mereka lebih memilih produk dengan harga yang lebih murah,” jelas Alphonzus.
Ia juga menyoroti bahwa hal ini menjadi salah satu alasan maraknya barang impor ilegal, karena harganya jauh lebih murah tanpa pajak atau pungutan resmi. Menurutnya, penurunan daya beli kelas menengah bawah sudah terjadi sejak awal tahun, terutama setelah Idul fitri 2024, dengan masyarakat di luar pulau Jawa menunjukkan daya beli yang lebih stabil. Alphonzus memprediksi bahwa tren ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun, sehingga pertumbuhan sektor ritel diperkirakan hanya mencapai angka satu digit.
Dia berharap akan ada perbaikan pada tahun 2025, seiring dengan target pemerintah yang optimis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.