BeritaPerbankan – Hunian berkonsep transit oriented development (TOD) tengah gencar dikembangkan sejumlah perusahaan pengembang dan menjadi incaran bagi warga perkotaan terutama kaum milenial yang menginginkan hunian yang terintegrasi dengan sarana transportasi publik dan fasilitas publik lainnya.
Head of Advisory Services of Colliers International Indonesia Monica Koesnovagril mengatakan konsep TOD merupakan konsep perumahan ideal untuk kawasan perkotaan dan aglomerasi seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Kebutuhan hunian yang dekat dengan sarana transportasi sangat dibutuhkan warga yang hilir mudik untuk bekerja dari kota satelit ke pusat kota dan sebaliknya. Sementara fasilitas transportasi publik tidak selalu mudah dijangkau. Akhirnya mereka harus menghabiskan waktu di perjalanan cukup lama dan tidak produktif.
Pembangunan hunian berkonsep TOD dapat memangkas waktu perjalanan dari rumah menuju kantor. Pemukiman berkonsep TOD letaknya tidak akan jauh dari stasiun kereta, LRT, MRT atau shelter bus.
Beberapa developer membangun hunian TOD dengan menerapkan sistem tata ruang mixed use (campuran). Bangunan pemukiman, mini market, restoran, mall, bioskop, klinik kesehatan dan sebagainya berada di gedung yang sama atau letaknya sangat berdekatan, masih dalam satu lingkungan komplek yang terintegrasi.
Pemukiman konsep TOD bertujuan meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi sehingga lebih ramah lingkungan karena orang-orang bisa mengakses berbagai tempat hanya dengan berjalan kaki atau menggunakan transportasi yang letaknya dekat sekali dengan kediaman masing-masing.
Awal Kemunculan Ide Hunian Berkonsep TOD
Arsitek perkotaan asal San Fransisco, Amerika Serikat Peter Calthorpe adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep transit oriented development (TOD) pada akhir tahun 1980-an.
Konsep TOD semakin dikenal di kalangan pakar perkotaan setelah Calthorpe memuat idenya di jurnal “The New American Metropolis” pada 1993.
TOD menurut Calthorpe didefinisikan sebagai konsep yang menggunakan pola ruang mixed-use (campuran) yang mendorong orang untuk tinggal berdekatan dengan layanan transit serta untuk mengurangi ketergantungan orang untuk mengemudi kendaraan pribadi.
Namun ada juga pendapat yang menyebutkan konsep semacam TOD sudah lebih dulu diterapkan di Jepang pada tahun 1873-1957 oleh industriawan Jepang bernama Ichizou Kobayashi.
Kobayashi disebut sebagai pelopor penerapan TOD dengan mengintegrasikan stasiun kereta api Hankyu dan real estate di wilayah Kansai, Jepang pada tahun 1910-1930. Pembangunan tersebut sekaligus menjadi cikal bakal penerapan konsep hunian TOD di Jepang.
Di Jepang akan mudah ditemukan bangunan mall, tempat hiburan, tempat makan hingga penginapan yang lokasinya berdampingan dengan stasiun kereta.
Menurut peneliti Cervero (1993), idealnya kawasan TOD memiliki tiga aspek utama yaitu density, diversity dan design. Density artinya pemanfaatan lahan secara maksimal untuk berbagai fungsi. Diversity menekankan pada keanekaragaman penggunaan lahan dan ragam aktifitas yang bisa dilakukan di kawasan TOD tersebut.
Sementara desain TOD harus ramah terhadap pejalan kaki dan sepeda sehingga lebih ramah terhadap lingkungan.
Konsep TOD berupaya memadukan kawasan perkantoran, hunian, pertokoan/perbelanjaan, ruang terbuka hijau dan fasilitas transportasi publik dalam jangkauan jarak yang nyaman untuk berjalan kaki.
Konsep TOD Minimalisir Kerugian Rp 56 triliun
Apabila masyarakat dengan mudah mengakses hunian, perkantoran, pertokoan dan sarana transportasi publik diharapkan angka ketergantungan terhadap kendaraan pribadi akan menurun. Bagi para pemilik kendaraan konsep TOD bisa mengurangi pengeluaran.
Pengendara mobil atau motor tidak perlu mencari tempat parkir setiap kali mendatangi suatu tempat. Pengeluaran untuk biaya parkir juga akan berkurang. Biaya bahan bakar akan jauh lebih berkurang dan hemat jika menggunakan transportasi publik yanglebih murah dan cepat.
Ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi berdampak buruk bagi lingkungan dan menyebabkan kemacetan parah, tekanan yang bisa menimbulkan stres, meningkatnya konsumsi bahan bakar akibat kemacetan, dsb.
Pada tahun 2019, Bank Dunia memprediksi kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan di kota-kota besar di Indonesia mencapai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 56 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/dolar).
Sedangkan untuk DKI Jakarta kerugian akibat kemacetan mencapai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp 36 Triliun. Senior Urban Economist World Bank, Mark Roberts, menyebutkan kemacetan adalah tanda ketidakmampuan dalam mengelola urbanisasi.
Pengembangan Properti Berbasis TOD di Indoensia
Direktur Utama PT Adhi Commuter Properti (ADCP) Rizkan Firman mengatakan ADCP berkomitmen terus membangun hunian berkonsep TOD. Sejauh ini ADCP telah membangun properti TOD di 7 stasiun LRT dari 17 stasiun LRT tahap I di Jabodetabek.
Membangun hunian sebanyak 54 ribu unit, ADCP mengembangkan hunian TOD di kawasan yang berdekatan dengan sistem Commuter Line dan Bus Rapid Transport (BRT).
Konsep TOD dikalim dapat mengurangi biaya mobilitas warga, menurunkan tingkat polusi udara dan kemacetan di kawasan Jabodetabek.
Untuk mendukung pengembangan properti berbasis TOD pemerintah melalui Bank Indonesia melonggarkan rasio Loan to Value (LTV) untuk mendorong kebangkitan sektor properti pasca pandemi.
Pemerintah juga memperpanjang pemberian insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah tapak/ rumah susun komersil dengan harga di bawah Rp. 2 milyar per unit.
Kebijakan tersebut mampu memberikan nafas bagi industri properti dengan naiknya indeks harga properti. Pada kuartal II-2021, indeks harga properti tercatat 215,77 dan diperkirakan akan naik menjadi 215,88 pada kuartal III-2021. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang hanya berada di kisaran 211-213.