Beritaperbankan.id – Kementerian Keuangan menegaskan bahwa program penjaminan polis asuransi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya berlaku bagi perusahan asuransi dengan kategori sehat.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan perusahaan asuransi yang berhak menjadi peserta penjaminan polis LPS harus memenuhi ketentuan sebagai perusahaan asuransi yang sehat dan tidak memiliki risiko tinggi.
Hal itu dilakukan agar pelaksanaan program penjaminan polis untuk mengantisipasi risiko moral atau moral hazard. Dengan demikian pelaksanaan program penjaminan dapat berjalan lebih efektif.
Kemenkeu menegaskan penjaminan asuransi yang tertuang dalam UU PPSK merupakan upaya pemerintah melindungi masyarakat sebagai konsumen produk asuransi, mengembangkan industri perasuransian nasional dan mendukung pengelolaan risiko dan kesejahteraan rakyat.
“Tentu di situ kita berikan regulatory yang baik, termasuk menghindari moral hazard. Bahwa yang menjadi anggota atau peserta program penjamin polis adalah perusahaan asuransi yang sehat,” ujar Suminto.
Dia menjelaskan nilai penjaminan polis yang dijamin LPS akan dibatasi pada nominal tertentu seperti halnya nilai penjaminan simpanan nasabah per bankan yang dimulai dari Rp 100 juta dan sekarang sudah mencapai Rp 2 miliar.
Tentu saja nilai penjaminan yang diberikan dapat berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan dengan dinamika perkembangan yang terjadi di sektor keuangan maupun asuransi.
Hingga saat ini pemerintah dan LPS belum menentukan batas maksimal nilai penjaminan polis asuransi atau mengadopsi pendekatan program penjaminan simpanan nasabah perbankan yang sudah dilakukan LPS sejak tahun 2005.
LPS diberikan waktu selama 5 tahun untuk merumuskan, menyusun dan menentukan sejumlah peraturan, syarat dan ketentuan terkait program penjaminan polis.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa pemerintah akan membuat turunan aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) sebagai panduan bagi LPS dan industri asuransi dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan program penjaminan polis.
“Dari sisi nominalnya, dari sisi threshold-nya, bisa dilakukan perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan yang ada di sektor keuangan dan perkembangan yang ada di masyarakat,” jelas Suminto.
Perusahaan asuransi diharapkan segera melakukan upaya penyehatan secara komprehensif dalam waktu lima tahun ini sebelum LPS resmi menyelenggarakan penjaminan polis pada tahun 2027 mendatang. Sebab ketentuan peserta penjaminan polis LPS adalah perusahan asuransi yang sehat.
Mendapatkan tiga tugas baru berdasarkan UU PPSK, LPS dari sisi kelembagaan akan memiliki tambahan Anggota Dewan Komisioner untuk memperkuat LPS dalam menjalankan tugas dan mandat baru tersebut.
“Karena bertambah tugasnya, bertambah mandatnya, LPS juga kita tambah dari sisi Anggota Dewan Komisioner. Sehingga secara kelembagaan bisa meng-absorb tugas baru, mandat baru,” jelas dia.
Sebelumnya DPR telah mengesakan RUU PPSK menjadi UU PPSK dalam rapat paripurna pada Kamis (15/12) di Jakarta. Dalam UU PPSK terdapat tiga tugas baru LPS, yang awalnya hanya menjamin simpanan nasabah perbankan dan menjaga stabilitas sistem keuangan di sektor perbankan, kini mendapatkan mandat untuk menjamin polis asuransi, melakukan resolusi bank dan menyelesaikan permasalahan perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya oleh OJK sesuai kewenangan yang diberikan.
Program penjaminan polis asuransi sendiri sudah lama dinantikan oleh masyarakat dan pelaku industri asuransi. UU Perasuransian mengamanatkan pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP) paling lambat pada tahun 2017.
Namun pemerintah dan DPR sepakat menunjuk LPS yang sudah berpengalaman, untuk melaksanakan program penjaminan polis asuransi.
Keputusan tersebut disambut positif oleh asosiasi asuransi tanah air. Mereka berharap LPS dapat segera melakasanakan program penjaminan polis agar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi kembali pulih setelah sempat tercoreng akibat kasus gagal bayar sejumlah perusahan asuransi.