Berita Perbankan – Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) masih belum tergeser oleh mata uang negara manapun di dunia. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan sulit percaya dengan prediksi dominasi dolar AS akan tergantikan dengan mata uang lain.
Purbaya menerangkan, berangkat dari fakta sejarah yang menunjukkan kekuatan dolar AS selama 100 tahun terakhir ini masih belum bisa ditandingi oleh mata uang negara manapun.
“Kalau pengamatan saya sebagai ekonom selama ini, mata uang yang paling kuat selama ini yang sudah teruji selama hampir 100 tahun lebih ya dolar itu,” ujar Purbaya dalam konferensi pengumuman tingkat bunga penjaminan pada pekan lalu.
Gejolak ekonomi dan keuangan negeri Paman Sam itu menimbulkan spekulasi bahwa dolar AS akan melemah dan tergantikan dengan mata uang lain sebagai mata uang yang digunakan secara global. Ditambah dengan isu gagal bayar (default) AS yang jatuh tempo pada Juni 2023 mendatang.
Seperti diketahui plafon utang negara adidaya itu sudah tercapai. Saat ini Presiden Joe Biden masih berupaya melobi DPR AS untuk meningkatkan plafon utang AS untuk membiayai sejumlah kebutuhan dalam negeri.
Jika AS benar-benar gagal bayar utang maka salah satu yang terkena dampak negatif adalah nilai dolar AS yang akan merosot. Sejumlah pihak memprediksi aksi dedolarisasi akan semakin besar dilakukan negara-negara di dunia.
Prediksi jatuhnya dolar AS sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 1970an. Saat itu perekonomian Jepang sedang berada di puncak. Mata uang Yen Jepang digadang-gadang bakal menggantikan dominasi dolar AS, namun prediksi itu ternyata meleset. Dolar AS hingga saat ini masih menjadi yang terkuat.
Purbaya menambahkan, mata uang lain yang sempat disebut bakal menggeser posisi dolar AS yaitu euro. Namun sulit bagi euro untuk benar-benar mengungguli dolar AS.
“Kalau kita ingat dulu waktu zaman Jepang ekonominya menguat tahun 70-an, orang bilang ‘bentar lagi kan (yen) menggantikan dolar’. Ternyata nggak kejadian,” papar Purbaya.
Demikian pula dengan kebangkitan ekonomi China yang diprediksi mampu melumpuhkan Keperkasaan dolar dengan Yuan, hingga saat ini isu tersebut belum menjadi kenyataan.
Purbaya tak menampik dinamika perekonomian dan keuangan AS akan mempengaruhi kekuatan dolar, namun ia meyakini dolar AS masih menjadi pilihan utama orang menabung dalam valuta asing.
Purbaya mengungkapkan saat ini sejumlah negara sudah mulai melepaskan ketergantungan terhadap dolar AS dengan aksi dedolarisasi. Diantaranya Turki, India, China, Rusia, Iran hingga Indonesia.
Aksi dedolarisasi dilakukan melalui kerjasama perdagangan bilateral dengan transaksi menggunakan mata uang lokal negara-negara tersebut. Indonesia sendiri sudah mulai menjalin hubungan kerjasama serupa dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.
LPS mencatat simpanan dalam valuta asing masih dikuasai oleh dolar AS dengan cakupan 80 persen. Purbaya menuturkan saat ini dolar AS sedang menghadapi sentimen negatif jangka pendek. Meski demikian dolar AS masih dipilih orang sebagai instrumen investasi karena dinilai lebih stabil.
“Tapi kalau saya lihat, intensif untuk menaruh uang, mereka akan naruh ke tempat yang paling stabil. Sampai sekarang belum ada yang lebih stabil menggantikan dolar. Ini bukan saya promosiin dolar ya,” imbuh Purbaya.
Pernyataan Purbaya itu terkonfirmasi dengan data terbaru dari Bank Indonesia. Tabungan valuta asing (valas) pada April 2023 tumbuh 4,8% (yoy). Secara nominal, tabungan valas tercatat sebesar Rp 182,2 triliun, tertinggi sejak November 2022 atau lima bulan terakhir.
Sebagai informasi simpanan nasabah dalam mata uang asing (valas) masuk dalam program penjaminan LPS dengan total nilai penjaminan mencapai Rp 2 miliar per nasabah per bank. Tingkat bunga penjaminan (TBP) untuk simpanan valas periode 1 Juni hingga 30 September 2023 adalah 2,25 persen.