Berita Perbankan – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, memprediksi masih adanya potensi terkait sejumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang akan menghadapi kebangkrutan pada tahun 2024. Pernyataan ini disampaikannya usai acara Anugerah Bangga Berwisata di Indonesia pada Jumat, 15 Desember 2023, di Senayan, Jakarta Pusat.
Menurut Purbaya, rata-rata jumlah BPR yang berpotensi bangkrut tahun depan bisa mencapai 7 bank. Hal ini tak berbeda dengan rata-rata bank bangkrut per tahun. Dia mengatakan tren ini diprediksi masih akan berlangsung pada tahun 2024. Sementara itu, LPS mencatat hingga Desember 2023, jumlah BPR yang dinyatakan bangkrut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 4 bank.
“Rata-rata bisa 7 BPR per tahun, ke depan mungkin akan seperti itu,” kata Purbaya.
Keempat lembaga tersebut adalah BPR Bagong Inti Marga (BIM) dan BPR Persada Guna di Jawa Timur, Perumda BPR Karya Remaja Indramayu (BPR KRI) di Jawa Barat, serta BPR Indotama UKM Sulawesi.
Meski demikian LPS memastikan kondisi perbankan nasional masih dalam level yang aman, sehingga masyarakat tak perlu khawatir dengan adanya sejumlah bank yang harus ditutup operasionalnya.
Purbaya menyampaikan bahwa kebangkrutan BPR pada tahun depan tidak sepenuhnya disebabkan oleh memburuknya kondisi ekonomi. Penurunan jumlah BPR memang sudah masuk dalam program OJK untuk mengoptimalkan dan memperkuat industri perbankan BPR, salah satunya melalui konsolidasi dan merger.
LPS juga mencatat, mayoritas BPR yang mengalami kebangkrutan bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian, melainkan adanya kesalahan tata kelola manajemen perusahaan dan tindakan fraud yang dilakukan oleh oknum pengurus dan pemilik bank.
“Memang ada konsolidasi di BPR dan itu program OJK, kita mendukung aja,” ungkap Purbaya.
Program penguatan BPR merupakan amanat konstitusi yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mengatur tentang penguatan BPR. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah melalui konsolidasi, yaitu penyatuan beberapa BPR untuk meningkatkan modal dan daya tahan perusahaan dalam menjalankan bisnis perbankan.
Purbaya memproyeksikan bahwa jumlah BPR akan mengalami penyusutan pada tahun depan, baik karena proses konsolidasi maupun penutupan akibat kebangkrutan yang disebabkan oleh dugaan tindak pidana kejahatan perbankan.
“Itu pun sebagian besar pasti karena selain konsolidasi, tapi yang BPR besar karena fraud aja biasanya bukan karena ekonomi yang buruk,” tambah Purbaya.
Dengan demikian, Purbaya memberikan gambaran bahwa tantangan BPR di masa depan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, melainkan juga oleh dinamika internal sektor perbankan, termasuk upaya konsolidasi dan peningkatan regulasi yang diatur oleh UU PPSK. Harapannya, langkah-langkah ini dapat menjaga stabilitas sektor keuangan dan mencegah terjadinya kebangkrutan yang tidak terkendali.
Terkait dengan nasib simpanan nasabah apabila terjadi penutupan bank, LPS menyatakan siap menjamin dana nasabah sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam program penjaminan simpanan LPS.
Saat bank mengalami gagal bayar, LPS akan mengganti simpanan layak bayar hingga Rp2 miliar per nasabah per bank. Proses pencairan klaim penjaminan akan dilakukan paling lambat 90 hari kerja terhitung sejak bank ditutup oleh OJK. Di sisi lain, LPS juga akan menangani likuidasi bank bermasalah tersebut dan mengambil alih pengelolaan aset bank hingga perusahaan selesai dilikuidasi.