BeritaPerbankan – Pemerintah menghadapi kebingungan terkait kondisi ekonomi Indonesia yang menunjukkan data positif, namun disertai dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menurunkan daya beli masyarakat.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Edi Priyono, mengungkapkan bahwa meski pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 mencapai 5,05%, inflasi tetap terjaga di angka 2,13%, dan tingkat kemiskinan menurun menjadi 9,09%, data mengenai PHK menunjukkan angka yang mengkhawatirkan.
Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari hingga Juni 2024, terjadi 32.064 kasus PHK, meningkat 21,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Edi Priyono mencatat bahwa, meski pertumbuhan ekonomi tampak baik, peningkatan PHK dan penurunan daya beli masyarakat menimbulkan pertanyaan mengenai keefektifan kebijakan ekonomi saat ini.
Pemerintah telah mengarahkan tim ke Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut dan menemukan bahwa penyebab utamanya adalah penurunan daya beli kelas menengah. Edi Priyono menjelaskan bahwa terdapat penurunan pendapatan di kalangan kelompok menengah, yang bukan termasuk kategori miskin atau kaya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berencana untuk fokus pada kebijakan yang dapat merangsang aktivitas ekonomi di kelas menengah, bukan hanya pada bantuan sosial untuk kelompok bawah atau insentif fiskal untuk kelompok atas.
Ekonom senior, Chatib Basri, juga mencatat penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia sejak 2019. Berdasarkan data Bank Dunia, proporsi kelas menengah turun dari 23% pada 2018 menjadi 17% pada 2023, sementara kelompok kelas menengah rentan (AMC) meningkat.
Kajian dari LPEM FEB UI menunjukkan bahwa kelas menengah berkontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak negara, menyumbang 50,7% dari total penerimaan pajak, dengan 34,5% berasal dari calon kelas menengah. Penurunan daya beli kelas menengah dapat mempengaruhi penerimaan pajak dan kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek pembangunan dan layanan publik.