BeritaPerbankan – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan banyak pelanggaran di industri perbankan berupa kredit fiktif, yang dilakukan untuk menekan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL).
Pelanggaran ini terkait dengan meningkatnya rasio NPL bank tahun ini. Rasio NPL gross naik menjadi 2,33% dan NPL net 0,81% pada April 2024, sedangkan Rasio NPL gross pada Desember 2023 sebesar 2,19% dan NPL net 0,71%..
OJK melaporkan bahwa hingga 30 Juni 2024, telah menyelesaikan penanganan 127 berkas perkara yang dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan RI. Kasus-kasus ini terdiri dari 102 perkara tindak pidana perbankan, 20 tindak pidana IKNB, dan lima tindak pidana pasar modal, dengan rata-rata hukuman penjara di atas lima tahun.
“Dalam konteks ini, kasus terbanyak terkait dengan kegiatan usaha bank, khususnya kebijakan pengurus untuk menjaga tingkat kesehatan bank seperti pembuatan kredit fiktif untuk memperbaiki non-performing loan (NPL),” kata Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L. Tobing pada Jumat, 5 Juli 2024.
Tongam menjelaskan bahwa dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, OJK bekerja sama dengan Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung RI baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. OJK juga akan terus melakukan penegakan hukum terhadap siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan untuk melindungi lembaga jasa keuangan dan masyarakat.
Baru-baru ini, penyidik OJK telah melimpahkan berkas perkara (Tahap 1) kasus di BPD NTT kepada Jaksa Penuntut Umum. Setelah dipelajari oleh Jaksa Penuntut Umum, disimpulkan bahwa berkas hasil penyidikan perkara pidana atas nama para tersangka sudah lengkap. Penyidik OJK kini sedang berkoordinasi dengan Penuntut Umum untuk rencana pelaksanaan Tahap 2, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti di Kejaksaaan Negeri Kupang.
Kasus bermula pada periode 4 April hingga 19 Agustus 2019, Absalom Sine (Direktur Pemasaran Kredit BPD NTT periode 11 Maret 2015 hingga 5 Mei 2020 yang juga Plt. Direktur Utama periode Mei 2018 hingga Mei 2019) dan Beny Rinaldy Pellu (Kepala Divisi Pemasaran Kredit BPD NTT periode November 2016 hingga September 2019) diduga sengaja membuat pencatatan palsu dalam proses pemberian tiga fasilitas kredit kepada PT Budimas Pundinusa (PT BMP) dengan total plafon Rp100 miliar, terbagi menjadi kredit modal kerja standby Rp32 miliar, kredit investasi Rp20 miliar, dan KMK-RC Rp48 miliar.
Tongam menambahkan bahwa dalam proses penyelidikan dan penyidikan, ditemukan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 56 KUHP.
Keduanya diancam pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar.