BeritaPerbankan – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin operasional sebanyak 12 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sepanjang paruh pertama tahun 2024. Jumlah ini jauh melampaui rata-rata tahunan dalam 18 tahun terakhir, yang biasanya berkisar antara 6 hingga 7 BPR jatuh setiap tahunnya. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat bahwa penyebab utama dari penutupan ini adalah kesalahan manajemen di tingkat pimpinan bank.
Ketua LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan dalam jumlah BPR yang ditutup ini bukan disebabkan oleh kondisi ekonomi yang buruk, melainkan akibat dari manajemen yang tidak efektif. Selain itu, LPS juga menyoroti adanya dugaan fraud yang dilakukan oknum pengurus bank sehingga menyebabkan bank bangkrut, serta pengelolaan kredit yang kurang memperhatikan potensi risiko kredit macet sehingga bank kesulitan dalam menyediakan kas untuk nasabah.
“Utamanya bukan karena berhubungan dengan kondisi ekonomi tapi berhubungan dengan miss manajemen, tahun ini juga ada yang sampaikan ke kami, jumlahnya belum tahu,” ujar Purbaya dalam konferensi pers di kantornya pada 14 Juli 2024.
Purbaya menambahkan bahwa masalah manajemen yang terjadi di beberapa BPR telah mengakibatkan ketidakstabilan operasional yang serius, sehingga OJK mengambil langkah tegas dengan mencabut izin operasional bank-bank tersebut. Langkah ini diambil untuk melindungi kepentingan nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Purbaya menjelaskan bahwa LPS telah menerima anggaran untuk menyelamatkan 12 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tahun ini. Ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk BPR yang mengalami masalah sudah siap. Nasabah tidak perlu khawatir tentang nasib simpanan mereka di bank-bank tersebut karena adanya program penjaminan simpanan oleh LPS, di mana dana nasabah bank yang dicabut izin usahanya akan dikembalikan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank.
Purbaya menekankan bahwa jumlah bank jatuh tersebut dapat berubah tergantung situasi yang berkembang, bisa lebih sedikit atau lebih banyak BPR yang akan mengalami masalah. Selain itu, terdapat juga program konsolidasi BPR yang dilakukan oleh OJK yang berpotensi menimbulkan penutupan sejumlah bank.
“Dalam anggaran kami, masih ada 5 lagi, totalnya 12 [BPR] karena rata-rata setiap tahun sekitar 7-8 BPR yang kami tangani. Ini terkait dengan program konsolidasi dari OJK, jadi kami mendapat angka sekitar 12 waktu itu. Namun, jumlah ini bisa berubah, mungkin lebih banyak atau lebih sedikit. Kita tunggu perkembangan yang ada,” ujar Purbaya setelah Rapat Kerja dengan Komisi XI.
Dalam beberapa tahun terakhir, LPS telah mencatat bahwa rata-rata penutupan BPR berkisar antara 6 hingga 7 bank per tahun. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada paruh pertama tahun 2024, ini menandakan adanya masalah yang lebih mendalam dalam pengelolaan BPR.
Menanggapi fenomena ini, LPS mendorong peningkatan kapasitas dan kompetensi manajemen di sektor perbankan, terutama pada level BPR. Purbaya menggarisbawahi bahwa pelatihan dan pengawasan yang lebih ketat perlu diterapkan untuk mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di masa mendatang.
“Kami akan terus bekerja sama dengan OJK untuk memastikan bahwa standar manajemen yang baik diterapkan di seluruh BPR, guna melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan,” tambahnya.