Berita Perbankan – Sejak berdiri tahun 2005, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melikuidasi sebanyak 121 bank perekonomian rakyat (BPR) hingga Desember 2023. Dalam setahun terakhir ini, LPS mencatat sebanyak empat BPR kehilangan izin usahanya dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Keempat BPR yang mengalami kebangkrutan sepanjang tahun 2023 adalah PT BPR Bagong Inti Marga, BPR Indotama UKM Sulawesi, BPR Karya Remaja Indramayu dan BPR Persada Guna. Di sisi lain, jumlah BPR di Indonesia juga mengalami penyusutan, menurut data Distribusi Simpanan BPR/BPRS dari LPS, jumlahnya berkurang 41 unit pada semester I/2023.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan penyebab bangkrutnya BPR bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional melainkan adanya kesalahan dalam tata kelola bisnis dan manajemen bank serta tindakan fraud yang dilakukan oleh oknum jajaran pengurus dan pemilik bank tersebut.
Purbaya menegaskan bahwa pelaku yang menyebabkan kebangkrutan bank akan ditindak tegas, untuk memberikan efek jera dan memastikan konsekuensi hukum yang tegas bagi para pelaku. Bos LPS itu mengatakan bahwa LPS akan mengejar para pelaku fraud perbankan, dengan melibatkan sejumlah pengacara yang akan menyeret para pelaku ke meja hijau.
“Saya sudah banyak hire lawyer baru di LPS untuk bisa mengejar mereka sampai mereka hidupnya susah,” ujarnya.
Sementara itu, perihal jumlah BPR yang terus menyusut, Purbaya menjelaskan bahwa hal ini bukan semata-mata disebabkan karena adanya bank yang berjatuhan setiap tahunnya, namun ada campur tangan kebijakan OJK yang memang mendesain agar jumlah BPR lebih ramping, salah satunya melalui aksi merger sejumlah BPR, sehingga BPR memiliki permodalan yang kuat.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai bahwa meskipun banyak BPR yang bangkrut, prospek pasar masih luas. Faktor kedekatan masyarakat dengan BPR dan tingginya suku bunga simpanan menjadi daya tarik utama, meskipun BPR perlu memperbaiki tata kelola perusahaan yang lebih baik.
“Masyarakat masih percaya BPR, hanya memang pengelolaan BPR juga harus dilakukan dengan baik dan memegang prinsip kehati-hatian,” ujarnya.
Dari segi pendanaan, BPR menawarkan suku bunga simpanan tinggi, seiring dengan kebijakan LPS yang menetapkan tingkat bunga penjaminan BPR lebih tinggi daripada bank umum atau valas. Meski jumlah BPR turun, pertumbuhan bisnisnya diharapkan tetap positif.
Didik Madiyono dari LPS menjelaskan bahwa sebagian besar masalah BPR bukan karena perekonomian, melainkan karena integritas pemilik atau pengurus saham yang kurang baik, menyebabkan adanya fraud. Meskipun pengawasan perbankan biasanya menjadi tanggung jawab OJK, LPS juga dapat melakukan investigasi terhadap indikasi tindak pidana perbankan, menciptakan mekanisme koordinasi yang kuat dengan OJK.
“Sebagian besar masalah BPR bukan karena perekonomian, tapi karena integritas pemilik ataupun pemegang saham atau pengurus saham yang jelek sehingga adanya fraud,” ucapnya.
BPR masih menjadi andalan masyarakat di berbagai pelosok daerah untuk mendapatkan layanan perbankan. Kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan yang tinggi, menjadi potensi dan peluang besar bagi perkembangan bisnis BPR.