BeritaPebankan – Transformasi digital di seluruh sektor bisnis merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan di tengah kecanggihan teknologi yang mulai diaplikasikan dalam berbagai model bisnis.
Transformasi digital dapat diartikan sebagai proses perubahan cara bisnis, pelayanan konsumen yang awalnya serba manual menjadi serba digital dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Penggunaan teknologi diklaim lebih efektif dan efisien, serta memberikan nilai lebih kepada pelanggan. Teknologi bisa membuat pekerjaan lebih cepat dan dapat menjangkau banyak pelanggan (dalam bisnis) tanpa batasan jarak, waktu dan geografis.
Istilah transformasi digital mulai muncul pada tahun 1990-an. Pada saat itu teknologi komputer mulai digunakan di banyak negara selama beberapa dekade.
Namun istilah transformasi digital baru muncul setelah internet mulai diperkenalkan kepada publik. Internet bisa dikatakan roh dari transformasi digital itu sendiri.
Internet mengubah banyak hal, mulai dari cara kerja yang tadinya laporan harus dalam bentuk kertas kini dokumen bisa dikirimkan melalui surat elektronik atau aplikasi chatting. Kebiasaan berbelanja juga berubah, masyarakat sudah mulai terbiasa berbelanja melalui e-commerce yang bisa diakses melalui ponsel pintar.
Internet juga mengubah cara manusia bersosialisasi, berbisnis, mempersiapkan perjalanan, hingga bidang pendidikan pun ikut berubah apalagi di tengah situasi pandemi seluruh sektor kehidupan mulai merapat ke teknologi menghindari kontak secara langsung.
Meski demikian istilah transformasi digital lebih dikenal dalam konteks bisnis. Transformasi digital dipahami sebagai proses perubahan model bisnis dengan pendekatan teknologi digital sebagai upaya pengembangan bisnis dan memperoleh penghasilan lebih banyak.
Transformasi digital didukung dengan munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI), cloud computing dan Internet of Things (IoT).
Ketiga teknologi tersebut mempunyai peran penting dalam percepatan transformasi digital di berbagai sektor. Kehidupan serba digital tidak bisa dihindarkan. Digitalisasi sudah menembus ke hampir seluruh aspek kehidupan manusia.
Era digital mendorong persaingan terbuka di sektor bisnis termasuk dunia perbankan. Lahirnya bank digital baik berupa entitas baru maupun bank eksisting yang meluncurkan layanan produk digital menjadi fenomena baru di industri perbankan.
Memahami kebutuhan masyarakat yang kini sudah mulai melek teknologi untuk mendapatkan pelayanan serba cepat, efektif dan tidak buang-buang waktu dan energi membuat sejumlah perusahaan keuangan perbankan ramai-ramai mendirikan bank digital.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut hingga tahun 2021 sudah ada 14 bank digital baik yang sudah beroperasi maupun sedang mempersiapkan diri.
Bank digital berbeda dengan layanan mobile banking yang selama ini kita gunakan. Lebih dari mobile banking, bank digital menawarkan beragam produk perbankan secara digital seperti pembukaan rekening, dan pengajuan kredit.
Menurut OJK bank digital tidak perlu memiliki lisensi khusus dalam kegiatan usahanya. Sebab di Indoensia hanya terdapat dua jenis bank yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
Transformasi digital perbankan membuat kegiatan transaksi perbankan menjadi lebih mudah, cepat dan efisien. Namun bukan berarti tanpa resiko. Yang paling disoroti adalah perihal keamanan data nasabah.
Sudah menjadi rahasia umum data masyarakat berpotensi bocor dan dijual ilegal secara daring. Beberapa kasus kebocoran data publik sudah terjadi berkali-kali bahkan data-data yang tersimpan di lembaga negara dan perbankan diberitakan bocor dan dijual bebas.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai kejahatan siber di industri perbankan berpotensi meningkat dan bersiko baik bagi nasabah maupun pihak bank.
LPS meminta perbankan harus sigap melakukan mitigasi resiko untuk melindungi data para nasabah. Begitupun nasabah juga harus memiliki kesadaran pentingnya menjaga data diri dengan tidak sembarangan membagikan data-data rahasia seperti KTP, Kartu Keluarga, kartu ATM, nomor rekening dan lain sebagainya.
Di era transformasi digital pihak bank wajib memperkuat kemanan siber dengan menggunakan teknologi yang mampu meminimalisir kebocoran data nasabah. Pihak perbankan juga harus melakukan sosialisasi kepada nasabah soal literasi keuangan/perbankan digital termasuk cara mengelola dan melindungi data pribadi.
Dari sisi nasabah LPS mengimbau masyarakat tetap berhai-hati dalam melakukan transaksi keuangan digital seperti berbelanja di e-commerce ataupun platform digital lainnya.
Akun dan password atau PIN tidak boleh dibagikan kepada siapapun. Dalam beberapa kasus pembobolan rekening bisa terjadi karena nasabah memberikan akses OTP kepada pelaku kejahatan siber. Padahal OTP sangat rahasia dan tidak boleh diberikan kepada siapapun termasuk yang mengaku sebagai pihak bank.
LPS mengingatkan masyarakat untuk tidak mengupload data pribadi yang bersifat credential (rahasia) di media sosial atau membagikan kepada pihak manapun.
Memasuki era digital perbankan, nasabah harus rajin memeriksa saldo tabungan mereka melalui aplikasi perbankan masing-masing untuk mengetahui lebih dini apabila ada riwayat transaksi yang mencurigakan. Sehingga dapat langsung menghubungi pihak bank untuk memperoleh solusi atas permasalahan yang ada.
Nasabah bank digital tidak perlu khawatir dengan dana simpanan di bank digital karena pasti dijamin oleh LPS. Syaratnya 3T, yaitu dana nasabah tercatat di sistem perbankan, tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan dan tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak bank seperti kredit macet.
LPS menjamin dana nasabah maksimal Rp. 2 miliar per nasabah per bank mengantisipasi jika terjadi potensi gagal bayar bank karena izin usaha dicabut atau mengalami kesulitan likuidasi. Dana nasabah akan dijamin oleh LPS sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.