BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengeluarkan dana sebesar Rp2,82 triliun untuk membayarkan klaim penjaminan simpanan nasabah terhitung sejak mulai beroperasi pada tahun 2005 hingga 31 Oktober 2024. Selama hampir 20 tahun beroperasi, LPS telah menangani simpanan di 137 bank yang dicabut izin usahanya, mencakup bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Dalam sebuah acara workshop media yang digelar oleh LPS di Bandung, Direktur Group Riset LPS, Seto Wardono, menjelaskan bahwa Rp2,82 triliun tersebut dibayarkan kepada nasabah bank umum sebesar Rp202 miliar, sementara sisanya sebesar Rp2,62 triliun disalurkan kepada nasabah BPR dan BPRS. Total nasabah yang menerima penjaminan mencapai 413.397 rekening. Sementara itu, total klaim yang dibayarkan oleh LPS sepanjang tahun 2024 hingga Oktober tercatat mencapai Rp 735,26 miliar dari total 108.116 rekening.
LPS juga mengungkapkan bahwa ada kenaikan jumlah bank yang dilikuidasi pada tahun ini. Hingga pekan terakhir di bulan Desember, tercatat sebanyak 20 BPR yang dicabut izin usahanya oleh OJK. LPS menyoroti bahwa sebagian besar penutupan ini disebabkan oleh praktik kecurangan (fraud) yang terjadi di dalam internal bank tersebut.
Direktur Eksekutif Hukum LPS, Ary Zulfikar, mengungkapkan bahwa maraknya fraud di BPR disebabkan oleh kelemahan dalam pengawasan operasional. Ada tiga modus utama fraud yang sering terjadi di BPR. Pertama, kolusi antara calon debitur dan direksi dalam pengajuan kredit yang tidak sesuai aturan. Dalam kasus ini, direksi yang memiliki kewenangan memberikan persetujuan kredit menyetujui pembiayaan tanpa evaluasi yang memadai.
“Pengawasan yang tidak efektif, terutama dalam sistem berjenjang, memberikan celah bagi pelaku di internal bank untuk melakukan kecurangan,” jelas Ary dalam acara LPS Morning Talks.
Kedua, praktik kredit fiktif di mana proyek atau usaha yang diajukan sebenarnya tidak ada, namun tetap disetujui oleh direksi dan pegawai BPR. Ary mengungkapkan bahwa modus ini biasanya melibatkan kerjasama banyak pihak di dalam bank, mulai dari direksi hingga bagian komite investasi.
Modus ketiga, yang dikenal sebagai kredit “topengan”, melibatkan penggunaan data pribadi nasabah tanpa sepengetahuan mereka untuk pengajuan pinjaman. Manajemen bank memanfaatkan informasi seperti KTP nasabah untuk mengajukan kredit atas nama mereka.
Selain itu, Ary juga menyoroti kasus pengambilan dana nasabah secara ilegal oleh pihak manajemen bank. Ini modus yang paling sering ditemukan, di mana dana nasabah digunakan tanpa sepengetahuan mereka. LPS menilai bahwa untuk memitigasi risiko fraud, implementasi teknologi informasi (TI) dalam pengawasan operasional BPR sangat penting.
Dengan memanfaatkan TI, pengawasan dapat dilakukan secara otomatis dan lebih efektif, mengurangi celah bagi terjadinya kecurangan. Rencananya LPS akan mulai mengaplikasikan program ini pada tahun 2025 mendatang. LPS berharap industri BPR dapat terus berkembang dengan lebih sehat dan aman di masa mendatang.
“Penerapan TI yang baik di BPR akan membantu meningkatkan tata kelola dan pengawasan internal, sehingga dapat mencegah terjadinya praktik-praktik fraud,” tutup Ary.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berkomunikasi dengan Komisi XI DPR guna mendapatkan kewenangan terkait pengembangan sistem tersebut. LPS menargetkan implementasi sistem teknologi informasi (IT) dilakukan pada 100 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tahun 2025.
Purbaya menjelaskan bahwa LPS telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp160 miliar untuk tahun 2025, yang akan digunakan untuk pembelian perangkat keras, perangkat lunak, serta pengembangan sistem pelatihan manajemen bagi BPR.
Menurutnya, dengan adanya peningkatan sistem IT, BPR akan mampu bersaing dengan bank online dan layanan pinjaman daring yang terus berkembang. Sistem ini diharapkan dapat mengurangi risiko kegagalan operasional di BPR dalam jangka panjang, karena manajemen yang lebih baik akan membantu mendeteksi masalah sejak awal.
“Jadi, manajemen mereka akan lebih baik ke depannya. Jika ini dijalankan dalam dua atau tiga tahun ke depan, kita tidak akan lagi mendengar BPR tumbang karena mismanajemen atau fraud,” jelas Purbaya.