BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat ada sebanyak 12 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2024. Jumlah ini melampaui rata-rata tahunan bank yang dilikuidasi yaitu 6 hingga 7 bank per tahun.
Sebagian besar penyebab jatuhnya bank-bank tersebut dikarenakan adanya kesalahan dalam tata kelola manajamen bisnis dan tindakan fraud oleh oknum pengurus bank. Menanggapi fenomena ini, OJK mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (POJK Tata Kelola).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa penerbitan POJK ini adalah langkah strategis untuk memperkuat BPR dan BPRS. Ia berharap kebijakan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR dan BPR Syariah.
Penguatan tata kelola ini sejalan dengan kebijakan konsolidasi untuk BPR dan BPR Syariah yang berada di bawah kepemilikan pemegang saham pengendali (PSP) yang sama. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan industri yang lebih efisien serta memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi perekonomian dan masyarakat.
“Menurut hasil pengawasan kami, kegagalan dalam menerapkan Tata Kelola yang Baik pada BPR dan BPR Syariah sering menjadi faktor utama yang menyebabkan kegagalan mereka,” ujar Dian.
Dian menjelaskan, penguatan tata kelola ini diwujudkan melalui penyempurnaan struktur dan proses tata kelola yang mencakup berbagai aspek, seperti pemegang saham, pelaksanaan tugas direksi, dewan komisaris dan komite, penerapan fungsi kepatuhan, audit internal dan eksternal, manajemen risiko dan pencegahan kecurangan, penanganan benturan kepentingan, integritas pelaporan, sistem teknologi informasi, dan rencana bisnis BPR/BPR Syariah.
Penguatan tata kelola pada BPR dan BPR Syariah bertujuan untuk mendukung perkembangan layanan, inovasi produk, dan teknologi informasi perbankan. Langkah ini juga diharapkan dapat memitigasi risiko terjadinya kecurangan atau permasalahan lainnya.
POJK Tata Kelola, yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2024, menetapkan kewajiban bagi BPR dan BPR Syariah untuk menerapkan praktik Tata Kelola yang baik dalam seluruh tingkatan organisasi dan penyelenggaraan kegiatan usaha mereka.
Optimalisasi tata kelola usaha BPR/BPRS juga dilakukan oleh LPS bersama asosiasi BPR/BPRS, yaitu Perbarindo. Hal ini merupakan bentuk upaya preventif LPS dan Perbarindo untuk meminimalisir bank bangkrut setiap tahunnya.
Sekretaris Lembaga LPS, Dimas Yuliharto, menyatakan bahwa melalui serangkaian diskusi dan workshop, diharapkan penutupan atau pencabutan izin usaha BPR dapat dihindari. Hal ini penting mengingat banyak BPR ditutup akibat lemahnya tata kelola.
Dimas juga menambahkan bahwa LPS memiliki data internal yang menjadi bagian dari sistem peringatan dini mereka. Dengan data ini, LPS dapat mendeteksi tanda-tanda awal jika ada bank yang mengalami masalah. LPS bekerja sama secara erat dengan OJK untuk memonitor kondisi perbankan, baik dari perspektif industri secara keseluruhan maupun individual bank.
Di sisi lain, LPS juga mengingatkan masyarakat atau nasabah yang terdampak penutupan bank agar tetap tenang karena simpanan nasabah di BPR masuk dalam cakupan program penjaminan simpanan LPS.
“Pembayaran klaim penjaminan yang dilakukan LPS ini untuk menjaga kepercayaan masyarakat terutama nasabah kepada perbankan, karena bank menjadi salah satu tempat perputaran ekonomi,” jelas Dimas.
Berikut ini adalah persyaratan yang harus dipenuhi nasabah agar simpanannya dijamin oleh LPS:
1. Simpanan harus tercatat dalam pembukuan bank.
2. Tingkat bunga simpanan yang diterima tidak boleh melebihi tingkat bunga yang dijamin oleh LPS.
3. Nasabah tidak terlibat atau terbukti melakukan fraud atau tindak pidana di bidang perbankan