Berita Perbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) baru-baru ini mengumumkan data terkini mengenai Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan hingga Oktober 2023. Simpanan dalam bentuk Giro, tabungan, dan deposito, komponen utama DPK, mencatat pertumbuhan sebesar 3,4% secara tahunan (yoy), mencapai total Rp 8.269 triliun.
Menariknya, jumlah rekening di sektor perbankan juga mengalami peningkatan signifikan sebanyak 8,3% yoy, mencapai angka 546,99 juta. Rekening tabungan mendominasi dengan kontribusi mencapai 97,99% dari total rekening perbankan. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa masyarakat cenderung memilih rekening tabungan sebagai pilihan utama untuk menyimpan dan mengelola dana mereka.
Lebih lanjut, distribusi DPK berdasarkan wilayah, menunjukkan bahwa provinsi DKI Jakarta masih menguasai dalam kontribusi DPK nasional. Dengan 124,12 juta rekening dan nilai simpanan mencapai Rp 4.304 triliun, DKI Jakarta menyumbang sebesar 52,04% dari total DPK nasional. Menariknya, meskipun jumlah akun rekening di Jakarta hanya menyumbang 22,69% dari total akun nasional, namun nilai DPK yang dipegang oleh masyarakat di Ibu Kota jauh melampaui provinsi lainnya.
Meskipun likuiditas perbankan masih relatif longgar, namun pelaku industri perbankan tetap harus bekerja keras meningkatkan jumlah DPK yang saat ini mengalami perlambatan. Perbankan harus mengoptimalkan strategi pengelolaan dana pihak ketiga di berbagai wilayah Indonesia. Artinya, meskipun angka-angka ini mencerminkan dinamika ekonomi yang positif, tetap diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan adanya inklusivitas keuangan yang merata di seluruh provinsi.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo mengeluhkan keringnya peredaran uang di sektor riil. Jokowi meminta perbankan untuk tidak terlalu banyak menaruh uang mereka pada instrumen di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Dia berharap perbankan meningkatkan penyaluran kredit khususnya di sektor riil.
Merespon hal ini, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pihaknya akan melakukan investigasi aliran dana masyarakat di perbankan.
“Kalau lihat dari data-data yang bisa kita monitorkan, alat likuid dan lain-lain masih bagus. Ada sinyal seperti itu bahwa ada semacam kekeringan kurangnya likuiditas perbankan itu agak mengejutkan kami. Kami sedang meneliti lebih dalam ya, mudah-mudahan kita tahu apa penyebabnya,” kata Purbaya.
Purbaya menerangkan kemungkinan dana perbankan banyak terparkir di bank besar atau di pemerintah, khususnya di Bank Indonesia. Dia mengatakan bahwa dalam konteks ekonomi yang melambat, fenomena “the cash of missing money,” merupakan hal klasik di dunia perbankan. Menyikapi hal ini, Purbaya menyatakan bahwa LPS tengah melakukan penelitian mendalam, karena situasi ini tidaklah sederhana, terutama ketika melibatkan negara-negara berbeda.
Berdasarkan data statistik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2023, nilai surat berharga yang dimiliki bank mencapai Rp 1.889,7 triliun, meningkat sebesar 3,59% secara tahunan. Pada periode yang sama, kredit yang diberikan oleh bank kepada pihak ketiga juga tumbuh lebih tinggi, mencapai 8,96% secara tahunan, dengan total Rp 6.837,3 triliun.
Namun, analisis lebih rinci mengungkapkan bahwa pertumbuhan surat berharga bank swasta nasional hampir setara dengan pertumbuhan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga. Pada September 2023, surat berharga naik 7,15% secara tahunan, sedangkan kredit tumbuh 7,84% tahunan.
Situasi ini berbeda dengan kebijakan bank asing yang cenderung menempatkan dana mereka pada surat berharga. Hal ini tercermin dari pertumbuhan surat berharga sebesar 35,79% yoy, sementara kredit merosot sebesar 4,71% tahunan.
Sebaliknya, bank BUMN mengalami pertumbuhan kredit sebesar 10,98% secara tahunan, namun mengalami kontraksi sebesar 2,38% yoy pada surat berharga. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pendekatan di antara berbagai jenis bank dalam mengelola aset dan kreditnya.