Berita Perbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan adanya tren pertumbuhan simpanan jumbo di atas Rp 5 miliar berdasarkan data simpanan nasabah per September 2023. Direktur Group Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Herman Saheruddin mengatakan dana pihak ketiga (DPK) di atas Rp 5 miliar tercatat mengalami kenaikan sebesar 7,82 persen pada bulan September 2023.
Pertumbuhan ini mencerminkan kestabilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.
Dalam penjabaran lebih lanjut, dapat dilihat bahwa golongan pemilik simpanan besar ini terbagi sebagai berikut:
- Korporasi Swasta: Sebanyak 49,14 persen dari simpanan besar ini berasal dari perusahaan swasta. Hal ini mencerminkan investasi besar yang dilakukan oleh sektor bisnis swasta dalam sistem perbankan.
- Perseorangan: 17,92 persen dari total simpanan di atas Rp5 miliar merupakan kepemilikan individu.
- BUMN dan BUMD: 11,46 persen dari simpanan besar ini berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang menunjukkan kontribusi sektor publik dalam pertumbuhan ini.
- Pemerintah Pusat dan Daerah: Pemerintah pusat dan daerah juga turut serta dalam pertumbuhan ini dengan kontribusi sebesar 11,78 persen.
- Golongan Lainnya: Sisanya, sekitar 9,70 persen dari simpanan besar di atas Rp5 miliar berasal dari kelompok pemilik lainnya.
Pertumbuhan yang signifikan dalam simpanan besar ini memberikan gambaran positif tentang perekonomian Indonesia. Hal ini juga mencerminkan adanya diversifikasi pemilik simpanan besar, yang mencakup sektor swasta, individu, dan sektor publik.
“Ini korporasi swasta di atas 49,14 persen, BUMN dan BUMD 11,46 persen, ini kalau dijumlah sekitar 60 persen, ditambah pemerintah daerah 11,78 persen. Jadi Rp5 miliar itu kebanyakan dari korporasi,” kata Herman.
LPS mencatat pertumbuhan simpanan nasabah tajir di atas Rp 5 miliar pada tahun ini masih fluktuatif. Data menunjukkan bahwa pada bulan Juli tercatat pertumbuhan sebesar 7,69 persen, diikuti oleh Agustus dengan pertumbuhan 6,79 persen, dan pada bulan September mencapai pertumbuhan 7,82 persen.
Herman mengatakan pertumbuhan ini tidak sebesar saat periode pandemi COVID-19, yang mana pertumbuhannya mampu mencapai dua digit angka. Namun dia menjelaskan tingginya jumlah simpanan nasabah saat pandemi dikarenakan nasabah menahan diri untuk berinvestasi dan memarkirkan uang mereka di bank.
Pasca berakhirnya pandemi dan pemulihan ekonomi yang terus menunjukkan hasil positif membuat nasabah kembali menggunakan dana simpanan di bank untuk berinvestasi dan mulai kembali melanjutkan ekspansi bisnis mereka.
“Kalau dulu pada saat COVID-19, simpanan di atas Rp5 miliar korporasi itu tumbuh tinggi banget karena mereka tidak investasi,” ujarnya.
Herman Saheruddin menyatakan bahwa pertumbuhan simpanan yang tinggi dapat mengisyaratkan terjadinya stagnasi ekonomi. Kondisi ini disebabkan oleh tingkat konsumsi masyarakat yang rendah dan kondisi sektor riil yang lesu, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Simpanan yang terlalu tinggi ini berbahaya bagi ekonomi. Bayangkan jika seluruh negara hanya menabung, ekonominya akan mengalami penurunan. Waktu pandemi Covid-19, meskipun simpanan tumbuh dua digit, produk domestik bruto mengalami penurunan. Ini adalah paradoks dari penyimpanan,” kata dia.
Herman menyatakan bahwa pertumbuhan simpanan yang ideal adalah yang moderat, berada di tengah-tengah, dan tidak berlebihan. Hal ini penting karena jika simpanan terlalu rendah, maka perbankan akan menghadapi kesulitan dalam menyediakan kredit karena ketersediaan likuiditas yang terbatas.
“Yang baik adalah pertumbuhan simpanan yang sedang, dan sekarang kita telah kembali ke tingkat normal sebelum pandemi Covid-19,” kata dia.