BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat telah menjamin sebanyak 99,78 persen rekening nasabah di Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS), atau setara dengan 15,81 juta rekening hingga Agustus 2024. Cakupan penjaminan ini menunjukkan komitmen kuat LPS dalam melindungi nasabah BPR/BPRS dan memperkuat stabilitas sektor perbankan nasional.
Sementara itu, pada bank umum, jumlah rekening nasabah yang dijamin penuh oleh LPS mencapai 99,27 persen, setara dengan 592,42 juta rekening. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh nasabah bank di Indonesia telah terjamin simpanannya oleh LPS melalui Program Penjaminan Simpanan dengan nilai penjaminan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank. Program ini memberikan kepastian hukum dan kepercayaan kepada publik dalam menjaga dana mereka di bank.
Program Penjaminan Simpanan telah berlangsung sejak tahun 2005, atau setahun setelah LPS didirikan, sebagai upaya pemerintah melindungi hak-hak nasabah saat bank mengalami kebangkrutan atau dicabut izin usahanya oleh otoritas pengawas. Lebih jauh, program ini bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, khususnya di sektor perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menuturkan bahwa cakupan penjaminan yang tinggi ini telah melampaui amanat Undang-Undang LPS Nomor 24 Tahun 2004, yang mensyaratkan cakupan penjaminan minimal 90 persen. Bahkan, angka ini juga berada di atas rata-rata cakupan penjaminan dari negara-negara anggota International Association of Deposit Insurers (IADI), yang rata-rata mencapai 80 persen.
“LPS telah berhasil melampaui standar internasional dalam melindungi simpanan nasabah, yang merupakan fondasi penting dalam menjaga kepercayaan terhadap sistem perbankan di Indonesia,” ujar Purbaya dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin lalu.
Seiring dengan komitmen menjaga stabilitas, hingga September 2024, LPS juga telah menangani 15 BPR yang dinyatakan bangkrut dan dicabut izin usahanya. Dari jumlah tersebut, 8 BPR mengalami kebangkrutan setelah diberlakukannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), sementara 7 BPR lainnya bangkrut pada periode sebelumnya, menjadikan total 15 BPR yang harus ditangani oleh LPS.
Didik Madiyono, Anggota Dewan Komisioner LPS Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank, menyatakan bahwa total dana yang dicairkan untuk membayar simpanan nasabah dari 15 BPR tersebut mencapai Rp899,37 miliar. Dana tersebut mencakup 108.288 rekening nasabah, dengan 99,23 persen atau 107.457 rekening telah diverifikasi dan dinyatakan layak untuk dibayar. Total simpanan layak bayar yang telah disetujui mencapai Rp719,37 miliar.
“Dari jumlah itu, LPS telah mencairkan sebesar Rp658,79 miliar untuk pembayaran simpanan nasabah,” jelas Didik.
Sebagai bagian dari upaya penguatan BPR, LPS saat ini sedang mempersiapkan program percontohan (pilot project) penerapan sistem teknologi informasi (IT) bagi 100 BPR yang dipilih. Program ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing BPR, baik terhadap bank umum maupun platform pinjaman daring (pinjol), yang kian tumbuh di era digital.
“Studi terkait program ini telah dilakukan, dan rencananya pembelian perangkat keras akan dimulai pada tahun 2025,” kata Purbaya.
Purbaya menambahkan, implementasi teknologi ini diharapkan dapat memperkuat infrastruktur BPR, serta memudahkan manajemen dalam mengelola risiko operasional dan keuangan. Selain itu, LPS juga merencanakan pengembangan program pelatihan manajemen jarak jauh untuk BPR. Program ini akan membantu meningkatkan kompetensi manajemen BPR agar lebih siap menghadapi tantangan industri keuangan yang terus berubah.
Purbaya juga mengungkapkan bahwa penyebab utama kebangkrutan BPR adalah kasus fraud yang dilakukan oleh oknum internal bank tersebut. Dengan tata kelola yang lebih baik, BPR diharapkan dapat terhindar dari risiko fraud. Ia menekankan pentingnya peningkatan tata kelola dan pengawasan di sektor BPR untuk mencegah terjadinya fraud yang merugikan nasabah dan mengancam stabilitas perbankan.
“Mayoritas BPR yang jatuh bangkrut disebabkan oleh kasus fraud, bukan karena kondisi ekonomi makro yang memburuk. Oleh karena itu, LPS akan memberikan dukungan dalam bentuk teknologi informasi untuk memperkuat pengelolaan risiko di BPR,” jelasnya.
Dengan langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh LPS, seperti penerapan teknologi dan pelatihan manajemen, BPR diharapkan mampu bersaing dan tetap relevan di era digital yang semakin kompetitif. Program ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR, sebagai salah satu pilar penting dalam mendukung inklusi keuangan di Indonesia.