BeritaPerbankan – Urgensi penjaminan polis asuransi yang telah digaungkan sejak tahun 2014 akhirnya menemukan titik terang. Melalui Undang-undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang baru saja disahkan DPR pada Kamis (15/12), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) resmi ditugaskan menjalankan program penjaminan polis.
Pelaksanaan program penjaminan simpanan akan dilaksanakan 5 tahun sejak UU PPSK disahkan atau sekitar tahun 2027. UU PPSK mengamanahkan tiga tugas baru bagi LPS, yang sebelumnya hanya menjamin simpanan nasabah perbankan dan ikut serta dalam menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya di sektor perbankan, kini akan menjamin polis asuransi, melaksanakan resolusi bank dan perusahaan asuransi dengan cara melikuidasi perusahaan yang ditutup izin usahnya oleh otoritas.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa menyambut baik pengesahan UU PPSK dan tugas baru LPS di sektor industri asuransi.
Purbaya mengatakan UU PPSK merupakan tonggak penguatan sektor keuangan, guna mendukung stabilitas sistem keuangan yang semakin baik dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
“Selain itu, UU P2SK juga memperkuat koordinasi antar anggota KSSK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan atau SSK,” kata Purbaya.
UU PPSK dinilai membawa kemajuan dan semakin memperkuat sektor keuangan nasional. Salah satu produk yang dinilai progresif dalam UU PPSK adalah program penjaminan polis.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu. Menurutnya saat ini belum banyak negara yang menjamin produk asuransi. Tercatat hanya Malaysia dan Kanada yang memiliki program penjaminan polis serupa dengan tugas LPS dalam UU PPSK.
“Ini merupakan produk yang cukup progresif, belum banyak negara yang punya ini,” ujarnya
Indonesia akan mulai menjalankan program penjaminan polis pada tahun 2027. LPS memiliki waktu 5 tahun untuk mempersiapkan diri sebelum menjalankan penjaminan asuransi.
Febrio juga berharap industri asuransi dapat memanfaatkan waktu dalam lima tahun ini untuk memperbaiki tata kelola perusahaan asuransi agar berada dalam kondisi yang sehat sehingga program penjaminan polis dapat segera direalisasikan sesuai target.
“Industri asuransi harus memahami apa ini program penjaminan polis, bahkan industro asuransi saat ini pun semuanya harus relatively sehat dulu jangan sampai nanti ketika kita perkenalkan program penjaminan polis terjadi salah persepsi lalu masyarakat jadi bingung,” katanya.
Febrio menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sudah menjalankan program penjaminan polis. Namun yang terpenting, dalam mempersiapkan penjaminan polis harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bern Dwyanto optimis program penjaminan polis akan memberikan dampak positif terhadap industri asuransi tanah air, mengembalikan citra perusahaan asuransi yang tercoreng akibat perusahaan asuransi yang tidak mampu memberikan hak bagi pemegang polis dan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Untuk menjalankan PPP, Bern meminta LPS mendalami dan memahami secara rinci isi polis dan aturan yang berlaku pada setiap produk asuransi yang akan dijamin. LPS juga perlu menyesuaikan dengan sistem digitalisasi yang kekinian sudah banyak diadopsi sejumlah perusahaan asuransi.
Selain itu penjaminan polis dapat mencakup asuransi umum, asuransi jiwa dan asuransi syariah.
“Ketentuan produk apa saja yang dijamin, yaitu sebesar nilai yang dijamin. Kami berharap LPP dapat mengelola risiko dengan baik. LPP perlu menyusuaikan diri dalam sistem digitalisasi yang telah banyak dibangun oleh perusahaan asuransi,” ujar Bern.