BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditunjuk menjadi penyelenggara penjaminan polis asuransi. Hal itu tercantum dalam Draft RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) atau Omnibus Law Keuangan Pasal 65 ayat 1 di Bab VIII tentang Program Penjaminan Polis.
LPS akan menjadi lembaga yang menjamin polis asuransi bagi pemegang polis, tertanggung atau peserta. Perluasan fungsi LPS menjamin polis asuransi disambut baik para pelaku industri asuransi dan masyarakat. Penunjukan LPS sebagai penjamin polis diyakini mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di industri asuransi.
Terlebih hadirnya Lembaga Penjamin Polis akan meningkatkan kepercayaan publik kepada industri asuransi sebagaimana masyarakat atau nasabah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada industri perbankan karena simpanan nasabah dijamin LPS saat bank dilikuidasi.
Dalam Draft RUU P2SK diatur tentang beberapa kewenangan LPS mulai dari penetapan besaran iuran di awal, iuran rutin dan ketentuan pembayaran penjaminan polis.
Asosiasi Asuransi Jiwa (AAJI) mengusulkan untuk dibuat persyaratan-persyaratan bagi perusahaan asuransi yang akan menjadi peserta penjaminan polis asuransi LPS.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyarankan agar perusahaan yang menjadi peserta penjaminan harus mencatatkan profit dan risk based capital (RBC) di atas 120 persen.
Selain itu besaran iuran mempertimbangkan tingkat risiko produk asuransi, jadi produk asuransi berisiko tinggi membayar iuran lebih mahal.
“Iurannya berdasarkan risiko perusahaan tersebut, kalau perusahaan itu punya produk yang berisiko tinggi, maka iurannya lebih mahal,” kata Togar.
Togar menegaskan bahwa penjaminan polis hanya diberikan untuk perusahaan asuransi yang dipailitkan oleh OJK, sama seperti penjaminan simpanan yang dibayarkan LPS untuk nasabah bank yang dilikuidasi.
“Perlu diperjelas bahwa penjamin polis ini adalah untuk perusahaan yang sudah dipailitkan (ditutup) oleh OJK. Sama seperti fungsi LPS saat ini untuk nasabah perbankan yang bank nya sudah pailit,” jelas Togar.
Hal itu penting untuk diperjelas agar perusahaan asuransi tidak menjual produk yang tidak wajar karena klaim penjaminan hanya diberikan saat perusahaan asuransi dicabut izin usahanya oleh OJK.
Direktur Utama BRI Life, Iwan Pasila berharap tidak ada moral hazard dari pelaku industri asuransi karena adanya penjaminan dari LPS. Iwan juga meminta besaran iuran tidak terlalu membebani perusahaan asuransi terlebih di tengah situasi seperti sekarang ini.
“Memang ada concern bagaimana memastikan bahwa tidak ada moral hazard dari pelaku hanya karena sudah ada jaminan. Disamping itu juga perlu dipastikan mekanisme pengenaan premi yang fair agar perusahaan tidak dibebani dengan premi yang terlalu berat mengingat kondisi saat ini yang sedang dalam masa pemulihan ekonomi karena pandemi,” ungkap Iwan.